Kamis, 04 Oktober 2012

HALUSINASI



              BAB I
      HALUSINASI

1.1 Latar Belakang
Halusinasi  adalah   gangguan   pencerapan   (persepsi)   pasca   indera tanpa Adanyarangsangan dari luar yang dapat meliputi semua system penginderaan di mana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh / baik.
Halusinasi  merupakan bentuk   yang   paling   sering   dari   gangguan   persepsi. Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau mendengung, tapi yang paling sering berupa kata-kata yang  tersusun dalam bentuk kalimat  yang agak sempurna.
Biasanya   kalimat   tadi  membicarakan  mengenai   keadaan   pasien   sedih atau yang dialamatkan pada pasien itu. Akibatnya pasien bisa bertengkar  atau bicara dengan suara halusinasi itu. Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap dalam mendengar atau bicara  keras-keras seperti  bila   ia  menjawab   pertanyaan   seseorang   atau   bibirnya bergerak-gerak.
Kadang-kadang pasien  menganggap   halusinasi   datang   dari   setiap tubuh atau diluar tubuhnya. Halusinasi ini kadang-kadang menyenangkan misalnya bersifat tiduran, ancaman dan lain-lain.
Menurut  May Durant  Thomas (1991) halusinasi  secara umum dapat  ditemukan pada pasien gangguan jiwa seperti: Skizoprenia, Depresi,   Delirium   dan   kondisi  yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lingkungan. Berdasarkan hasil pengkajian   pada   pasien   dirumah   sakit   jiwa   ditemukan   85%  pasien   dengan   kasus halusinasi.  Sehingga   penulis  merasa  tertarik   untuk  menulis   kasus   tersebut   dengan pemberian Asuhan keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi.





                                                            BAB II
                                                    PEMBAHASAN

2.1 Klasifikasi
Klasifikasi halusinasi sebagai berikut :
1.      Halusinasi   dengar   (akustik,   auditorik),   pasien   itu   mendengar   suara   yang membicarakan,  mengejek, menertawakan,  atau mengancam padahal  tidak ada suara di sekitarnya.
2.      Halusinasi   lihat  (visual), pasien  itu melihat  pemandangan orang,  binatang atau sesuatu yang tidak ada.
3.      Halusinasi bau / hirup (olfaktori). Halusinasi ini jarang di dapatkan. Pasien yang mengalami mengatakan mencium bau-bauan seperti bau bunga, bau kemenyan, bau mayat, yang tidak ada sumbernya.
4.      Halusinasi   kecap (gustatorik). Biasanya terjadi bersamaan dengan  halusinasi bau / hirup. Pasien itu merasa (mengecap) suatu rasa di mulutnya.
5.      Halusinasi singgungan (taktil,kinaestatik).Individu yang bersangkutan merasa ada seseorang yang meraba atau memukul. Bila rabaab ini   merupakan rangsangan seksual halusinasi ini disebut halusinasi heptik.

2.2 Etiologi
Menurut  Mary  Durant   Thomas   (1991),  Halusinasi   dapat   terjadi   pada klien dengan gangguan   jiwa seperti skizoprenia, depresi atau   keadaan  delirium, demensia dan kondisi yang berhubungan dengan   penggunaan   alkohol   dan   substansi   lainnya.
Halusinasi   adapat   juga   terjadi   dengan   epilepsi,   kondisi   infeksi   sistemik   dengan gangguan metabolik. Halusinasi juga dapat dialami sebagai efek samping dari berbagai pengobatan  yang meliputi  anti  depresi,  anti   kolinergik, antiinflamasi dan antibiotik, sedangkan obat-obatan   halusinogenik   dapat  membuat  terjadinya  halusinasi sama seperti pemberian obat diatas. Halusinasi dapat juga terjadi pada saat keadaan individu normal   yaitu   pada   individu   yang   mengalami   isolasi,   perubahan   sensorik   seperti kebutaan,   kurangnya   pendengaran   atau   adanya   permasalahan   pada   pembicaraan.

            Penyebab halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun banyak faktor yang mempengaruhinya seperti faktor biologis, psikologis , sosial budaya,dan stressor pencetusnya adalah  stress   lingkungan  ,biologis,  pemicu masalah sumber-sumber koping dan mekanisme koping.

2.3 Psikopatologi
Psikopatologi  dari  halusinasi  yang pasti  belum diketahui.  Banyak  teori  yang diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik, fisiologik dan lain-lain.
Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan  terjaga yang normal  otak dibombardir oleh aliran stimulus yang yang datang dari  dalam  tubuh ataupun dari  luar tubuh. Input   ini  akan menginhibisi   persepsi   yang   lebih   dari   munculnya  ke alam sadar.
Bila input ini dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti yang kita jumpai pada keadaan normal atau patologis,  maka materi-materi  yang ada dalam unconsicisus atau preconsciousbisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi.
Pendapat   lain mengatakan bahwa halusinasi  dimulai  dengan adanya keinginan yang direpresi  ke  unconsicious  dan  kemudian  karena sudah   retaknya  kepribadian  dan rusaknya daya menilai realitas maka keinginan tadi diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus eksterna.

2.4 Tanda dan Gejala
Pasien dengan halusinasi  cenderung menarik diri,  sering di  dapatkan duduk  terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau bicara sendiri, secaratiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti  sedang menikmati  sesuatu.  Juga keterangan dari  pasien sendiri   tentang halusinasi  yang di alaminya (apa yang di lihat, di dengar atau di rasakan).


2.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
1.      Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat  kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibathalusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individualdan usahakan agar  terjadi  knntak mata,  kalau bisa pasien di  sentuh atau dipegang.  Pasien  jangan  di  isolasi  baik  secara  fisik   atau   emosional.  
Setiapperawat  masuk  ke kamar  atau  mendekati   pasien,   bicaralah   dengan  pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien diberitahu tindakan yang akan di lakukan.
Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatiandan  mendorong  pasien  untuk  berhubungan dengan realitas,   misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan.
2.      Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali   pasien   menolak   obat   yang   di   berikan   sehubungan   denganrangsangan halusinasi yang di terimanya.Pendekatan sebaiknya   secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan betuldi telannya, serta reaksi obat yang di berikan.

3.      Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada
Setelah   pasien   lebih   kooperatif   dan   komunikatif, perawat dapat  menggalimasalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya   halusinasi   sertamembantu  mengatasi  masalah yang  ada.  Pengumpulan data   ini   juga dapatmelalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.





4.      Memberi aktivitas pada pasien
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga,   bermain   atau   melakukan   kegiatan.   Kegiatan   ini   dapat   membantu mengarahkan   pasien   ke   kehidupan   nyata   dan  memupuk   hubungan   dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
5.      Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalnya dari   percakapan   dengan   pasien   di   ketahui   bila   sedang   sendirian   ia   sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara   itu   tidak   terdengar   jelas.   Perawat  menyarankan   agar   pasien   jangan menyendiri   dan  menyibukkan   diri   dalam  permainan   atau   aktivitas   yang   ada. Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan petugaslain agar   tidak  membiarkan   pasien   sendirian   dan   saran   yang   di   berikan   tidak bertentangan.











                                       
2.6 Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Halusinasi
A. Pengkajian
Pada tahap ini perawat menggali faktor-faktor yang ada dibawah ini yaitu :
2.6.1 Faktor predisposisi.
Adalah  faktor resiko yang mempengaruhi  jenis dan  jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh  individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari  pasien maupun keluarganya, mengenai  factor  perkembangan sosial kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu factor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlahsumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
2.6.2 Faktor Perkembangan
Jika tugas  perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu maka individu akan mengalami stress  dan kecemasan.
2.6.3Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor dimasyarakat  dapat   menyebabkan   seorang   merasa disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien di besarkan.

2.6.4 Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress   yang   berlebihan   dialami   seseorang  maka   didalam  tubuh   akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP).

2.6.5 Faktor Psikologis
Hubungan  interpersonal  yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress   dan   kecemasan   yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realitas.

2.6.6 Faktor genetik
 Gen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui, tetapi hasil  studi  menunjukkan bahwa  faktor  keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

2.6.7 Faktor Presipitasi
 Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh  individu sebagai   tantangan,  ancaman tuntutan   yang   memerlukan   energi   ekstra   untuk   koping.   Adanya   rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti  partisipasi  klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan juga suasana sepi / isolasiadalah sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapatmeningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zathalusinogenik.

2.6.8 Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidakaman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata.  Menurut  Rawlins dan Heacock,  1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi  berlandaskan atas hakekat   keberadaan   seorang   individu   sebagai mahkluk  yang dibangun atas   dasar   unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari dimensi yaitu :

2.6.9 Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang eksternal  yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi   dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.

2.6.10 Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar  problem yang  tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa   perintah  memaksa   dan  menakutkan.  Klien   tidak   sanggup   lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

2.6.11 Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu  dengan halusinasi  akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya  halusinasi merupakan  usaha  dari   ego  sendiri   untuk  melawan impuls yang menekan,  namun merupakan suatu hal  yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua prilaku klien.

2.6.12 Dimensi Sosial
Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasi nya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi   kebutuhan   akan interaksi  sosial,  kontrol  diri  dan harga diri  yang  tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem control oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu   cenderung   untuk   itu.   Oleh   karena   itu,   aspek   penting   dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses   interaksi   yang   menimbulkan   pengalaman   interpersonal   yang memuaskan,   serta  mengusakan   klien   tidak  menyendiri   sehingga  klien selalu   berinteraksi   dengan   lingkungannya   dan   halusinasi   tidak berlangsung.



2.6.13 Dimensi Spiritual
Manusia   diciptakan  Tuhan   sebagai  makhluk   sosial,   sehingga   interaksi dengan manusia  lainnya merupakan  kebutuhan  yang mendasar.  Pada individu tersebut cenderung menyendiri hingga proses diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya individu  kehilangan kontrol kehidupan dirinya.

.           2.6.14 Sumber Koping
Suatu evaluasi   terhadap pilihan koping dan strategi  seseorang.   Individu dapat mengatasi   stress   dan   anxietas   dengan   menggunakan   sumber   koping dilingkungan.   Sumber   koping   tersebut   sebagai  modal   untuk  menyelesaikan masalah,  dukungan sosial  dan keyakinan budaya,  dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang   menimbulkan   stress   dan   mengadopsi strategi koping yang berhasil.

2.6.15 Mekanisme Koping
Tiap   upaya   yang   diarahkan   pada   pelaksanaan   stress,   termasuk   upaya penyelesaian masalah  langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.

B. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul
1.      Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan halusinasi.
2.      Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
3.      Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.




C. Intervensi
Diagnoasa 1.:
Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan halusinasi
Tujuan : Tidak terjadi perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain.
Kriteria Hasil :
1.      Pasien dapat mengungkapkan perasaannya dalam keadaan saat ini secara verbal.
2.      Pasien   dapat   menyebutkan   tindakan   yang   biasa   dilakukan   saat   halusinasi, cara memutuskan halusinasi dan melaksanakan cara yang efektif  bagi pasien untuk digunakan
3.      Pasien dapat  menggunakan keluarga  pasien untuk mengontrol  halusinasi  dengan cara sering berinteraksi dengan keluarga.
Intervensi :
1.      Bina Hubungan saling percaya
2.      Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya.
3.      Dengarkan ungkapan klien dengan empati
4.      Adakan kontak secara singkat tetapi  sering secara bertahap (waktu disesuaikan dengan kondisi klien).
5.      Observasi tingkah laku : verbal dan non verbal yang berhubungan dengan halusinasi.
6.      Jelaskan   pada   klien   tanda-tanda   halusinasi   dengan   menggambarkan   tingkah   laku halusinasi.
7.      Identifikasi bersama klien situasi yang menimbulkan dan tidak menimbulkan halusinasi, isi, waktu, frekuensi.
8.      Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya saat alami halusinasi.
9.      Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan bila sedang mengalami halusinasi.
10.  Diskusikan cara-cara memutuskan halusinasi
11.  Beri  kesempatan pada klien untuk mengungkapkan cara memutuskan halusinasi  yang sesuai dengan klien.
12.  Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok
13.  Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga ketika mengalami halusinasi.
14.  Diskusikan dengan klien tentang manfaat obat untuk mengontrol halusinasi.
15.  Bantu klien menggunakan obat secara benar.
Diagnosa 2.:
Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
Tujuan : Klien mampu mengontrol halusinasinya
Kriteria Hasil :
1.      Pasien dapat dan mau berjabat tangan.
2.      Pasien mau menyebutkan nama, mau memanggil nama perawat dan mau duduk bersama.
3.      Pasien dapat menyebutkan penyebab klien menarik diri.
4.      Pasien mau berhubungan dengan orang lain.
5.      Setelah dilakukan kunjungan  rumah klien dapat  berhubungan  secara bertahap dengan keluarga

Intervensi :
1.      Bina hubungan saling percaya.
2.      Buat kontrak dengan klien.
3.      Lakukan perkenalan.
4.      Panggil nama kesukaan.
5.      Ajak pasien bercakap-cakap dengan ramah.
6.      Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya serta beri kesempatan pada klien mengungkapkan perasaan penyebab pasien tidak mau bergaul/menarik diri.
7.      Jelaskan pada klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta yang mungkin jadi penyebab.
8.      Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaan.
9.      Diskusikan tentang keuntungan dari berhubungan.
10.  Perlahan-lahan  serta pasien dalam kegiatan  ruangan dengan melalui   tahap-tahap yang ditentukan.
11.  Beri pujian atas keberhasilan yang telah dicapai.
12.  Anjurkan pasien mengevaluasi secara mandiri manfaat dari berhubungan.
13.  Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan pasien mengisi waktunya.
14.  Motivasi pasien dalam mengikuti aktivitas ruangan.
15.  Beri pujian atas keikut sertaan dalam kegiatan ruangan.
16.  Lakukan kungjungan rumah, bina hubungan saling percaya dengan keluarga.
17.  Diskusikan dengan keluarga tentang perilaku menarik diri, penyebab dan cara keluarga menghadapi.
18.  Dorong anggota keluarga untuk berkomunikasi.
19.  Anjurkan   anggota   keluarga   pasien   secara   rutin   menengok   pasien   minimal   sekali seminggu.

Diagnosa 3.:
Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
Tujuan : Pasien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap.
Kriteria Hasil :
1.      Pasien dapat menyebutkan koping yang dapat digunakan
2.      Pasien dapat menyebutkan efektifitas koping yang dipergunakan
3.      Pasien mampu memulai mengevaluasi diri
4.      pasien mampu membuat perencanaan yang realistik sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya
5.      Pasien bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan sesuai dengan rencanan

Intervensi :
1.      Dorong pasien untuk menyebutkan aspek positif yang ada pada dirinya dari segi fisik.
2.      Diskusikan dengan pasien tentang harapan-harapannya.
3.      Diskusikan dengan pasien keterampilannya yang menonjol selama di rumah dan di rumah sakit.
4.      Berikan pujian.
5.      Identifikasi masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pasien
6.      Diskusikan koping yang biasa digunakan oleh pasien.
7.      Diskusikan strategi koping yang efektif  bagi pasien.
8.      Bersama  pasien   identifikasi   stressor   dan  bagaimana   penilaian   pasien   terhadap stressor.
9.      Jelaskan bahwa keyakinan pasien  terhadap  stressor  mempengaruhi  pikiran dan perilakunya.
10.  Bersama pasien identifikasi keyakinan ilustrasikan tujuan yang tidak realistic.
11.  Bersama pasien identifikasi kekuatan dan sumber koping yang dimiliki
12.  Tunjukkan konsep sukses dan gagal dengan persepsi yang cocok.
13.  Diskusikan koping adaptif dan maladaptif.
14.  Diskusikan kerugian dan akibat respon koping yang maladaptive.
15.  Bantu pasien untuk mengerti  bahwa hanya pasien yang dapat  merubah dirinya bukan orang lain
16.  Dorong   pasien   untuk   merumuskan   perencanaan/tujuannya   sendiri   (bukan perawat).
17.  Diskusikan konsekuensi dan realitas dari perencanaan / tujuannya.
18.  Bantu pasien untuk menetpkan secara jelas perubahan yang diharapkan.
19.  Dorong pasien untuk memulai pengalaman baru untuk berkembang sesuai potensi yang ada pada dirinya.













BAB III
          PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Halusinasi  adalah   gangguan   pencerapan   (persepsi)   pasca   indera tanpa Adanyarangsangan dari luar yang dapat meliputi semua system penginderaan di mana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh / baik. Perubahan persepsi sensori adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan dalam jumlah dan pola dari stimulus yang mendekat (yang diprakarsai secara internal atau eksternal) disertai dengan suatu pengurangan berlebih-lebihan, distorsi atau kelainan berespon terhadap setiap stimulus.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar