BAB I
      HALUSINASI
1.1
Latar Belakang
Halusinasi  adalah  
gangguan   pencerapan   (persepsi)  
pasca   indera tanpa
Adanyarangsangan dari luar yang dapat meliputi semua system penginderaan di
mana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh / baik. 
Halusinasi  merupakan bentuk   yang  
paling   sering   dari  
gangguan   persepsi. Bentuk
halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau mendengung, tapi yang
paling sering berupa kata-kata yang 
tersusun dalam bentuk kalimat 
yang agak sempurna. 
Biasanya   kalimat  
tadi  membicarakan  mengenai  
keadaan   pasien   sedih atau yang dialamatkan pada pasien itu.
Akibatnya pasien bisa bertengkar  atau
bicara dengan suara halusinasi itu. Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap
dalam mendengar atau bicara  keras-keras
seperti  bila   ia 
menjawab   pertanyaan   seseorang  
atau   bibirnya bergerak-gerak. 
Kadang-kadang
pasien  menganggap   halusinasi  
datang   dari   setiap tubuh atau diluar tubuhnya.
Halusinasi ini kadang-kadang menyenangkan misalnya bersifat tiduran, ancaman
dan lain-lain.
Menurut  May Durant 
Thomas (1991) halusinasi  secara
umum dapat  ditemukan pada pasien
gangguan jiwa seperti: Skizoprenia, Depresi,  
Delirium   dan   kondisi 
yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lingkungan.
Berdasarkan hasil pengkajian   pada   pasien  
dirumah   sakit   jiwa  
ditemukan   85%  pasien  
dengan   kasus halusinasi.  Sehingga  
penulis  merasa  tertarik  
untuk  menulis   kasus  
tersebut   dengan pemberian Asuhan
keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi.
                                                            BAB II
                                                    PEMBAHASAN
2.1
Klasifikasi
Klasifikasi halusinasi
sebagai berikut :
1.      Halusinasi   dengar  
(akustik,   auditorik),   pasien  
itu   mendengar   suara  
yang membicarakan,  mengejek,
menertawakan,  atau mengancam
padahal  tidak ada suara di sekitarnya.
2.      Halusinasi   lihat 
(visual), pasien  itu melihat  pemandangan orang,  binatang atau sesuatu yang tidak ada.
3.      Halusinasi
bau / hirup (olfaktori). Halusinasi ini jarang di dapatkan. Pasien yang
mengalami mengatakan mencium bau-bauan seperti bau bunga, bau kemenyan, bau
mayat, yang tidak ada sumbernya.
4.      Halusinasi   kecap (gustatorik). Biasanya terjadi
bersamaan dengan  halusinasi bau / hirup.
Pasien itu merasa (mengecap) suatu rasa di mulutnya.
5.      Halusinasi
singgungan (taktil,kinaestatik).Individu yang bersangkutan merasa ada seseorang
yang meraba atau memukul. Bila rabaab ini  
merupakan rangsangan seksual halusinasi ini disebut halusinasi heptik.
2.2
Etiologi
Menurut  Mary 
Durant   Thomas   (1991), 
Halusinasi   dapat   terjadi  
pada klien dengan gangguan   jiwa
seperti skizoprenia, depresi atau  
keadaan  delirium, demensia dan
kondisi yang berhubungan dengan  
penggunaan   alkohol   dan  
substansi   lainnya. 
Halusinasi   adapat  
juga   terjadi   dengan  
epilepsi,   kondisi   infeksi  
sistemik   dengan gangguan
metabolik. Halusinasi juga dapat dialami sebagai efek samping dari berbagai
pengobatan  yang meliputi  anti 
depresi,  anti   kolinergik, antiinflamasi dan antibiotik,
sedangkan obat-obatan  
halusinogenik   dapat  membuat 
terjadinya  halusinasi sama
seperti pemberian obat diatas. Halusinasi dapat juga terjadi pada saat keadaan
individu normal   yaitu   pada  
individu   yang   mengalami  
isolasi,   perubahan   sensorik  
seperti kebutaan,   kurangnya   pendengaran  
atau   adanya   permasalahan   pada  
pembicaraan.
            Penyebab
halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun banyak faktor yang
mempengaruhinya seperti faktor biologis, psikologis , sosial budaya,dan
stressor pencetusnya adalah  stress   lingkungan 
,biologis,  pemicu masalah
sumber-sumber koping dan mekanisme koping.
2.3
Psikopatologi
Psikopatologi  dari  halusinasi  yang pasti 
belum diketahui.  Banyak  teori 
yang diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik,
fisiologik dan lain-lain.
Ada
yang mengatakan bahwa dalam keadaan 
terjaga yang normal  otak
dibombardir oleh aliran stimulus yang yang datang dari  dalam 
tubuh ataupun dari  luar tubuh.
Input   ini  akan menginhibisi   persepsi  
yang   lebih   dari  
munculnya  ke alam sadar.
Bila
input ini dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti yang kita jumpai pada
keadaan normal atau patologis,  maka
materi-materi  yang ada dalam
unconsicisus atau preconsciousbisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi.
Pendapat   lain mengatakan bahwa halusinasi  dimulai 
dengan adanya keinginan yang direpresi 
ke  unconsicious  dan 
kemudian  karena sudah   retaknya 
kepribadian  dan rusaknya daya
menilai realitas maka keinginan tadi diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus
eksterna.
2.4
Tanda dan Gejala
Pasien
dengan halusinasi  cenderung menarik
diri,  sering di  dapatkan duduk  terpaku dengan pandangan mata pada satu arah
tertentu, tersenyum atau bicara sendiri, secaratiba-tiba marah atau menyerang
orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti  sedang menikmati  sesuatu. 
Juga keterangan dari  pasien
sendiri   tentang halusinasi  yang di alaminya (apa yang di lihat, di
dengar atau di rasakan).
2.5
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada
pasien halusinasi dengan cara :
1.      Menciptakan
lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi
tingkat  kecemasan, kepanikan dan
ketakutan pasien akibathalusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di
lakukan secara individualdan usahakan agar 
terjadi  knntak mata,  kalau bisa pasien di  sentuh atau dipegang.  Pasien  jangan 
di  isolasi  baik 
secara  fisik   atau  
emosional.   
Setiapperawat  masuk 
ke kamar  atau  mendekati   pasien,  
bicaralah   dengan  pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya
hendaknya pasien di beritahu. Pasien diberitahu tindakan yang akan di lakukan.
Di
ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang
perhatiandan  mendorong  pasien 
untuk  berhubungan dengan
realitas,   misalnya jam dinding, gambar
atau hiasan dinding, majalah dan permainan.
2.      Melaksanakan
program terapi dokter
Sering
kali   pasien   menolak  
obat   yang   di  
berikan   sehubungan   denganrangsangan halusinasi yang di
terimanya.Pendekatan sebaiknya   secara
persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan
betuldi telannya, serta reaksi obat yang di berikan.
3.      Menggali
permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada
Setelah   pasien  
lebih   kooperatif   dan  
komunikatif, perawat dapat  menggalimasalah
pasien yang merupakan penyebab timbulnya  
halusinasi   sertamembantu  mengatasi 
masalah yang  ada.  Pengumpulan data   ini  
juga dapatmelalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat
dengan pasien.
4.      Memberi
aktivitas pada pasien
Pasien
di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah
raga,   bermain   atau  
melakukan   kegiatan.   Kegiatan  
ini   dapat   membantu mengarahkan   pasien  
ke   kehidupan   nyata  
dan  memupuk   hubungan  
dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih
kegiatan yang sesuai.
5.      Melibatkan
keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga
pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar ada
kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalnya dari   percakapan  
dengan   pasien   di  
ketahui   bila   sedang  
sendirian   ia   sering mendengar laki-laki yang mengejek.
Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara   itu  
tidak   terdengar   jelas.  
Perawat  menyarankan   agar  
pasien   jangan menyendiri   dan 
menyibukkan   diri   dalam 
permainan   atau   aktivitas  
yang   ada. Percakapan ini
hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan petugaslain agar   tidak 
membiarkan   pasien   sendirian  
dan   saran   yang  
di   berikan   tidak bertentangan.
2.6
Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Halusinasi
A. Pengkajian
Pada tahap ini perawat
menggali faktor-faktor yang ada dibawah ini yaitu :
2.6.1 Faktor
predisposisi.
Adalah  faktor resiko yang mempengaruhi  jenis dan 
jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh  individu untuk mengatasi stress. Diperoleh
baik dari  pasien maupun keluarganya,
mengenai  factor  perkembangan sosial kultural, biokimia, psikologis
dan genetik yaitu factor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlahsumber yang
dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
2.6.2 Faktor
Perkembangan
Jika
tugas  perkembangan mengalami hambatan
dan hubungan interpersonal terganggu maka individu akan mengalami stress  dan kecemasan.
2.6.3Faktor
Sosiokultural
Berbagai
faktor dimasyarakat  dapat   menyebabkan  
seorang   merasa disingkirkan oleh
kesepian terhadap lingkungan tempat klien di besarkan.
2.6.4 Faktor Biokimia
Mempunyai
pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress   yang  
berlebihan   dialami   seseorang 
maka   didalam  tubuh  
akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia
seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP).
2.6.5 Faktor Psikologis
Hubungan  interpersonal 
yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang bertentangan dan
sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress   dan  
kecemasan   yang tinggi dan
berakhir dengan gangguan orientasi realitas.
2.6.6 Faktor genetik
 Gen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia
belum diketahui, tetapi hasil  studi  menunjukkan bahwa  faktor 
keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2.6.7 Faktor
Presipitasi
 Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh  individu sebagai   tantangan, 
ancaman tuntutan   yang   memerlukan  
energi   ekstra   untuk  
koping.   Adanya   rangsang lingkungan yang sering yaitu
seperti  partisipasi  klien dalam kelompok, terlalu lama diajak
komunikasi, objek yang ada dilingkungan juga suasana sepi / isolasiadalah
sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut
dapatmeningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan
zathalusinogenik.
2.6.8 Perilaku
Respon
klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidakaman,
gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil
keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata.  Menurut 
Rawlins dan Heacock,  1993 mencoba
memecahkan masalah halusinasi 
berlandaskan atas hakekat  
keberadaan   seorang   individu  
sebagai mahkluk  yang dibangun
atas   dasar   unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga
halusinasi dapat dilihat dari dimensi yaitu :
2.6.9 Dimensi Fisik
Manusia
dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang eksternal  yang diberikan oleh lingkungannya.
Halusinasi   dapat ditimbulkan oleh
beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan
obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk
tidur dalam waktu yang lama.
2.6.10 Dimensi
Emosional
Perasaan
cemas yang berlebihan atas dasar  problem
yang  tidak dapat diatasi merupakan
penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa   perintah 
memaksa   dan  menakutkan. 
Klien   tidak   sanggup  
lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien
berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
2.6.11 Dimensi
Intelektual
Dalam
dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu  dengan halusinasi  akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi
ego. Pada awalnya  halusinasi
merupakan  usaha  dari  
ego  sendiri   untuk 
melawan impuls yang menekan, 
namun merupakan suatu hal  yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak
jarang akan mengontrol semua prilaku klien.
2.6.12 Dimensi Sosial
Dimensi
sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk
menyendiri. Individu asyik dengan halusinasi nya, seolah-olah ia merupakan
tempat untuk memenuhi   kebutuhan   akan interaksi  sosial, 
kontrol  diri  dan harga diri  yang 
tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem
control oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa
ancaman, dirinya atau orang lain individu  
cenderung   untuk   itu.  
Oleh   karena   itu,  
aspek   penting   dalam melaksanakan intervensi keperawatan
klien dengan mengupayakan suatu proses  
interaksi   yang   menimbulkan  
pengalaman   interpersonal   yang memuaskan,   serta 
mengusakan   klien   tidak 
menyendiri   sehingga  klien selalu  
berinteraksi   dengan   lingkungannya   dan  
halusinasi   tidak berlangsung.
2.6.13 Dimensi
Spiritual
Manusia   diciptakan 
Tuhan   sebagai  makhluk  
sosial,   sehingga   interaksi dengan manusia  lainnya merupakan  kebutuhan 
yang mendasar.  Pada individu
tersebut cenderung menyendiri hingga proses diatas tidak terjadi, individu
tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem kontrol dalam
individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya individu  kehilangan kontrol kehidupan dirinya.
.           2.6.14
Sumber Koping
Suatu
evaluasi   terhadap pilihan koping dan
strategi  seseorang.   Individu dapat mengatasi   stress  
dan   anxietas   dengan  
menggunakan   sumber   koping dilingkungan.   Sumber  
koping   tersebut   sebagai 
modal   untuk  menyelesaikan masalah,  dukungan sosial  dan keyakinan budaya,  dapat membantu seseorang mengintegrasikan
pengalaman yang   menimbulkan   stress  
dan   mengadopsi strategi koping
yang berhasil.
2.6.15 Mekanisme Koping
Tiap   upaya  
yang   diarahkan   pada  
pelaksanaan   stress,   termasuk  
upaya penyelesaian masalah 
langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.
B. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul
1.      Resiko
perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan
halusinasi.
2.      Perubahan
persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
3.      Isolasi
sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
C. Intervensi
Diagnoasa 1.:
Resiko perilaku
kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan halusinasi
Tujuan : Tidak terjadi perilaku
kekerasan pada diri sendiri dan orang lain.
Kriteria Hasil :
1.      Pasien
dapat mengungkapkan perasaannya dalam keadaan saat ini secara verbal.
2.      Pasien   dapat  
menyebutkan   tindakan   yang  
biasa   dilakukan   saat  
halusinasi, cara memutuskan halusinasi dan melaksanakan cara yang
efektif  bagi pasien untuk digunakan
3.      Pasien
dapat  menggunakan keluarga  pasien untuk mengontrol  halusinasi 
dengan cara sering berinteraksi dengan keluarga.
Intervensi :
1.      Bina
Hubungan saling percaya
2.      Beri
kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya.
3.      Dengarkan
ungkapan klien dengan empati
4.      Adakan
kontak secara singkat tetapi  sering
secara bertahap (waktu disesuaikan dengan kondisi klien).
5.      Observasi
tingkah laku : verbal dan non verbal yang berhubungan dengan halusinasi.
6.      Jelaskan   pada  
klien   tanda-tanda   halusinasi  
dengan   menggambarkan   tingkah  
laku halusinasi.
7.      Identifikasi
bersama klien situasi yang menimbulkan dan tidak menimbulkan halusinasi, isi,
waktu, frekuensi.
8.      Beri
kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya saat alami halusinasi.
9.      Identifikasi
bersama klien tindakan yang dilakukan bila sedang mengalami halusinasi.
10.  Diskusikan
cara-cara memutuskan halusinasi
11.  Beri  kesempatan pada klien untuk mengungkapkan
cara memutuskan halusinasi  yang sesuai
dengan klien.
12.  Anjurkan
klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok
13.  Anjurkan
klien untuk memberitahu keluarga ketika mengalami halusinasi.
14.  Diskusikan
dengan klien tentang manfaat obat untuk mengontrol halusinasi.
15.  Bantu
klien menggunakan obat secara benar.
Diagnosa 2.:
Perubahan persepsi sensorik : halusinasi
berhubungan dengan menarik diri
Tujuan : Klien mampu mengontrol
halusinasinya
Kriteria Hasil :
1.      Pasien
dapat dan mau berjabat tangan.
2.      Pasien
mau menyebutkan nama, mau memanggil nama perawat dan mau duduk bersama.
3.      Pasien
dapat menyebutkan penyebab klien menarik diri.
4.      Pasien
mau berhubungan dengan orang lain.
5.      Setelah
dilakukan kunjungan  rumah klien
dapat  berhubungan  secara bertahap dengan keluarga
Intervensi :
1.      Bina
hubungan saling percaya.
2.      Buat
kontrak dengan klien.
3.      Lakukan
perkenalan.
4.      Panggil
nama kesukaan.
5.      Ajak
pasien bercakap-cakap dengan ramah.
6.      Kaji
pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya serta beri
kesempatan pada klien mengungkapkan perasaan penyebab pasien tidak mau
bergaul/menarik diri.
7.      Jelaskan
pada klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta yang mungkin jadi
penyebab.
8.      Beri
pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaan.
9.      Diskusikan
tentang keuntungan dari berhubungan.
10.  Perlahan-lahan  serta pasien dalam kegiatan  ruangan dengan melalui   tahap-tahap yang ditentukan.
11.  Beri
pujian atas keberhasilan yang telah dicapai.
12.  Anjurkan
pasien mengevaluasi secara mandiri manfaat dari berhubungan.
13.  Diskusikan
jadwal harian yang dapat dilakukan pasien mengisi waktunya.
14.  Motivasi
pasien dalam mengikuti aktivitas ruangan.
15.  Beri
pujian atas keikut sertaan dalam kegiatan ruangan.
16.  Lakukan
kungjungan rumah, bina hubungan saling percaya dengan keluarga.
17.  Diskusikan
dengan keluarga tentang perilaku menarik diri, penyebab dan cara keluarga
menghadapi.
18.  Dorong
anggota keluarga untuk berkomunikasi.
19.  Anjurkan   anggota  
keluarga   pasien   secara  
rutin   menengok   pasien  
minimal   sekali seminggu.
Diagnosa 3.:
Isolasi sosial : menarik diri
berhubungan dengan harga diri rendah
Tujuan : Pasien dapat berhubungan dengan
orang lain secara bertahap.
Kriteria Hasil :
1.      Pasien
dapat menyebutkan koping yang dapat digunakan
2.      Pasien
dapat menyebutkan efektifitas koping yang dipergunakan
3.      Pasien
mampu memulai mengevaluasi diri
4.      pasien
mampu membuat perencanaan yang realistik sesuai dengan kemampuan yang ada pada
dirinya
5.      Pasien
bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan sesuai dengan rencanan
Intervensi :
1.      Dorong
pasien untuk menyebutkan aspek positif yang ada pada dirinya dari segi fisik.
2.      Diskusikan
dengan pasien tentang harapan-harapannya.
3.      Diskusikan
dengan pasien keterampilannya yang menonjol selama di rumah dan di rumah sakit.
4.      Berikan
pujian.
5.      Identifikasi
masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pasien
6.      Diskusikan
koping yang biasa digunakan oleh pasien.
7.      Diskusikan
strategi koping yang efektif  bagi
pasien.
8.      Bersama  pasien  
identifikasi   stressor   dan 
bagaimana   penilaian   pasien  
terhadap stressor.
9.      Jelaskan
bahwa keyakinan pasien  terhadap  stressor 
mempengaruhi  pikiran dan
perilakunya.
10.  Bersama
pasien identifikasi keyakinan ilustrasikan tujuan yang tidak realistic.
11.  Bersama
pasien identifikasi kekuatan dan sumber koping yang dimiliki
12.  Tunjukkan
konsep sukses dan gagal dengan persepsi yang cocok.
13.  Diskusikan
koping adaptif dan maladaptif.
14.  Diskusikan
kerugian dan akibat respon koping yang maladaptive.
15.  Bantu
pasien untuk mengerti  bahwa hanya pasien
yang dapat  merubah dirinya bukan orang
lain
16.  Dorong   pasien  
untuk   merumuskan   perencanaan/tujuannya   sendiri  
(bukan perawat).
17.  Diskusikan
konsekuensi dan realitas dari perencanaan / tujuannya.
18.  Bantu
pasien untuk menetpkan secara jelas perubahan yang diharapkan.
19.  Dorong
pasien untuk memulai pengalaman baru untuk berkembang sesuai potensi yang ada
pada dirinya.
BAB III
          PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Halusinasi  adalah  
gangguan   pencerapan   (persepsi)  
pasca   indera tanpa
Adanyarangsangan dari luar yang dapat meliputi semua system penginderaan di
mana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh / baik. Perubahan persepsi
sensori adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan dalam jumlah
dan pola dari stimulus yang mendekat (yang diprakarsai secara internal atau
eksternal) disertai dengan suatu pengurangan berlebih-lebihan, distorsi atau
kelainan berespon terhadap setiap stimulus.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar