Selasa, 02 Oktober 2012

ANEMIA APLASTIK


BAB I
TINJAUAN TEORI

1.1.   Definisi
Anemia aplastik merupakan suatu pansitopenia pada hiposelularitas sum-sum tulang. Anemia aplastik didapat (Acquired qplastic anemia) berbeda dengan iatrogenic marrow aplasia, hiposelularitas sum-sum setelah chemotherapy sitotoksik intensif. Anemia aplastik dapat pula diturunkan : anemia Fancani genetic dan dyskeratosis congenital, dan sering berkaitan dengan anomaly fisik khas dan perkembangan pansitopenia terjadi pada umur yang lebih muda, dapat pula berupa kegagalan sum-sum pada orang dewasa yang terlihat normal. Anemia aplastik didapat seringkali bermanifestasi yang khas, dengan onset hitung darah yang rendah secara mendadak pada dewasa muda yang terlihat normal; hepatitis seronegatif atau pemberian obat yang salah dapat pula mendahului onset ini. Diagnosis pada keadaan seperti ini tidak sulit. Biasanya penurunan hitung darah moderat atau tidak lengkap, akan menyebabkan anemia, leucopenia, dan thrombositopenia atau dalam beberapa kombinasi tertentu.
Definisi lain dari Anemia aplastik adalah suatu gangguan pada sel-sel induk disumsum tulang yang dapat menimbulkan kematian, pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang dihasilkan tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia yaitu kekurangan  sel darah merah, sel darah putih dan trombosit. Secara morfologis sel-sel darah merah terlihat normositik dan normokrom, hitung retikulosit rendah atau hilang dan biopsi sumsum tulang menunjukkan suatu keadaan yang disebut “pungsi kering” dengan hipoplasia yang nyata dan terjadi pergantian dengan jaringan lemak. Langkah-langkah pengobatan terdiri dari mengidentifikasi dan menghilangkan agen penyebab. Namun pada beberapa keadaan tidak dapat ditemukan agen penyebabnya dan keadaan ini disebut idiopatik. Beberapa keadaan seperti ini diduga merupakan keadaan imunologis.

1.2  Etiologi
Anemia aplasik bisa berupa kelainan kongenital (genetik) bisa berupa kelainan yang di dapat. Sebagai kelainan kongenital anemia aplastik dibedakan menjadi dua kelompok :
1. Aplasia yang hanya mengenai salah satu dari sel. Misalnya :
a. Anemia hipoplastik kongenital (erithroblastopenia)→ seri eritropoetik
b. Agranulositosis, genetik infanital (agranulositosis) → seri granulopoetik
c. Amegakaryolite trombositopeni purpura → seri trombopoetik.
2. Aplasia yang mengenai seluruh seri hematopoetik dan biasanya disertai dengan kelainan kongenital. Misalnya :
a. Sindrom kongenital
b. Diskeratosis bawaan.
c. Anemia aplastik konstitusional tampa kelainan kulit atau tulang.
Sedangkan anemia aplasik yang di dapat adalah yang berasal dari:
1.      Radiasi
Aplasia sumsum merupakan sekuele akut utama dari radiasi. Radiasi merusak DNA; jaringan bergantung pada mitosis aktif yang biasanya terganggu. Kecelakaan nuklir tidak hanya melibatkan pekerja namun juga pegawai rumah sakit, laboratorium, dan industri (sterilisasi makanan, radiography metal,dll), begitupula dengan orang lain yang terpapar secara tidak sengaja. Sementara dosis radiasi dapat diperkirakan melalui angka dan derajat penurunan hitung darah, dosimetri dengan rekonstruksi paparan dapat membantu memperkirakan prognosis pasien dan dapat pula melindungi tenaga medis dari kontak dengan jaringan radioaktif dan secret. MDS dan leukemia, namun kemungkinan bukan anemia aplastik, merupakan efek lambat dari radiasi.
2.      Zat Kimia
Benzena merupakan penyebab yang diketahui dari kegagalan sumsum tulang. Banyak data laboratorium, klinis, dan epidemiologi yang menghubungkan antara paparan benzene dengan anemia aplastik, leukemia akut, dan abnormalitas darah dan sum-sum tulang. Kejadian leukemia kurang berkaitan dengan paparan kumulatif -namun kecurigaan tetap diperlukan- karena hanya sebagian kecil dari pekerja yang terpapar terkena benzene myelotoksisitas. Rwayat pekerjaan penting diketahui, terutama pada insdustri dimana benzene digunakan biasanya sebagai pelarut. Penyakit darah terkait benzene telah menurun insidennya karena adanya peraturan mengenai paparan industrial. Walaupun benzene tidak lagi digunakan sebagai pelarut pada pemakaian rumah tangga , paparan terhadap metabolitnya dapat terjadi pada makanan dan lingkungan sekitar. Keterkaitan antara kegagalan sum-sum dengan zat kimia lain kurang bermakna.
3.      Obat-obatan
Banyak obat kemoterapi yang mengsupresi sumsum sebagai toksisitas utamanya; efeknya tergantung dengan dosis dan dapat terjadi pada semua pengguna. Berbeda dengan hal tersebut, reaksi idiosinkronasi pada kebanyakan obat dapat menyebabkan anemia aplastik tanpa hubungan dengan dosis. Hubungan ini berdasarkan dari laporan kasus dan suatu penelitian internasional berskala besar di Eropa pada tahun 1980 secara kuantitatif menilai pengaruh obat, terutama analgesic nonsteroid, sulfonamide, obat thyrostatik, beberapa psikotropika, penisilamin, allopurinol, dan garam emas. Tidak semua hubungan selalu menyebabkan hubungan kausatif: obat tertentu dapat digunakan untuk mengatasi gejala pertama dari kegagalan sum-sum (antibiotic untuk demam atau gejala infeksi virus) atau memprovokasi gejala pertama dari penyakit sebelumnya (petechiae akibat NSAID yang diberikan pada pasien thrombositopenia). Pada konteks penggunaan obat secara total, reaksi idiosinkronasi jarang terjadi walaupun pada beberapa orang terjadi dengan sangat buruk. Chloramphenicol, merupakan penyebab utama, namun dilaporkan hanya menyebabkan anemia aplasia pada sekitar 1/60.000 pengobatan dan kemungkinan angka kejadiannya sebenarnya lebih sedikit dari itu (resiko selalu lebih besar ketika berdasar kepada kumpulan kasus kejadiannya; walaupun pengenalan chloramphenicol dicurigai menyebabkan epidemic anemia aplasia, penghentian pemakaiannya tidak diikuti dengan peningkatan frekuensi kegagalan sum-sum tulang). Perkiraan resiko biasanya lebih rendah ketika penelitian berdasarkan populasi.
4.      Infeksi
Hepatitis merupakan infeksi yang paling sering terjadi sebelum terjadinya anemia aplasia, dan kegagalan sum-sum paska hepatitis terhitung 5% dari etiologi pada kebanyakan kejadian. Pasien biasanya pria muda yang sembuh dari serangan peradangan hati 1 hingga 2 bulan sebelumnya; pansitopenia biasanya sangat berat. Hepatitis biasanya seronegatif (non-A, non-B, non-C, non-G) dan kemungkinan disebabkan oleh virus baru yang tidak terdeteksi. Kegagalan hepar fulminan pada anak biasanya terjadi setelah hepatitis seronegatif dan kegagalan sum-sum terjadi pada lebih sering pada pasien ini. Anemia aplastik terkadang terjadi setelah infeksi mononucleosis, dan virus Eipsten-Barr telah ditemukan pada sum-sum pada sebagian pasien, beberapanya tanpa disertai riwayat penyakit sebelumnya. Parvovirus B19, penyebab krisis aplastik transient pada anemia hemolitik dan beberapa PRCA (Pure Red Cell Anemia), tidak biasanya menyebabkan kegagalan sum-sum tulang yang luas. Penurunan hitung darah yang ringan sering terjadi pada perjalanan penyakit beberapa infeksi bakteri dan virus namun sembuh kembali setelah infeksi berakhir.
5.      Penyakit Immunologis
Aplasia merupakan konsekuensi utama dan penyebab kematian yang tak terhindarkan pada keadaan transfusion-associated graft-versus-host disease (GVDH), yang dapat terjadi setelah infuse produk darah kepada pasien immunodefisiensi. Anemia aplastik sangat terkait dengan sindroma kolagen vaskuler yang jarang terjadi yang disebut fasciitis eosinophilic, yang ditandai dengan adanya indurasi yang sakit pada jaringan subcutaneous. Pansitopenia dengan hipoplasia sum-sum dapat pula terjadi pada systemic lupus erythematosus.
6.      Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria
Mutasi pada gen PIG-A di dalam sel bakal hematopoietic menyebabkan terjadinya PNH, namun mutasi PIG-A kemungkinan pula terjadi pada individu normal. Jika sel bakal dengan mutasi PIG-A berproliferasi, hasilnya adalah defisiensi protein membrane sel terkait glycosylphosphatidylinositol. Sel PNH seperti ini biasanya dapat terlihat dengan flow sitometri dengan ekspresi CD55 atau CD 59 pada granulosit daripada pemeriksaan Ham atau sucrose lysis pada sel darah merah. Beberapa klon yang terganggun dapat terdeteksi pada separuh pasien dengan anemia aplastik pada waktu pemeriksaan (dan sel PNH juga dapat terlihat pada MDS); hemolysis yang jelas dan episode thrombotik terjadi pada pasien dengan klon PH yang besar (>50%). Penelitian fungsional terhadap sum-sum tulang pada pasien PNH, walaupun pada orang yang utamanya bermanifestasi hemolytic, memperlihatkan bukti adanya hematopoiesis yang rusak. Pasien yang pada awalnya memiliki diagnosis klinis PNH, terutama pada individu yang berumur lebih muda, kemungkinan pada suatu saat akan mengalami aplasia sum-sum tulang dan pansitopenia; pasien yang pada awalnya didiagnosis anemia aplastik kemungkinan mengalami PNH hemolytic beberapa tahun setelah normalnya hitung darah. Satu penjelasan anemia aplastik yang populer namun tidak terbukti adalah terpilihnya suatu klon yang terganggu adalah karena sel tersebut mendukung terjadinya proliferasi pada lingkungan yang tidak biasanya karena adanya destruksi sum-sum akibat autoimun.
7.      Gangguan Konstitusi
Anemia Fanconi, suatu gangguan resesif autosomal, bermanifestasi sebagai perkembangan anomaly congenital, pansitopenia progresif, dan peningkatan resiko keganasan. Kromosom pada anemia fanconi, anehnya, beresiko terhadap agen DNA cross-link, dasar dari pemeriksaan diagnostic. Pasien dengan anemia Fanconi biasanya memiliki postur yang pendek, café au lait spots, dan anomaly yang melibatkan jari, radius, dan traktus genitourinaria. Paling tidak sekitar 12 defek genetic berbeda yang telah didapatkan; dan yang paling sering, Anemia Fanconi tipe A, diakibatkan oleh mutasi pada FANCA. Kebanyakan produk gen pada pasien anemia Fanconi membentuk kompleks protein yang mengaktivasi FANCD2 untuk berperan dalam respon seluler pada kerusakan DNA dan menyebabkan cross-linking yang melibatkan BRCA1, ATM, da NBSI.
Dyskeratosis congenita ditandai dengan leukoplasia membrane mucous, dystrophi pada kuku, hiperpigmentasi retikuler, dan perkembangan anemia aplastik pada masa kanak-kanak. Keragaman X-link disebabkan adanya mutasi pada gen DKCI (dyskerin); tipe autosomal dominant yang lebih jarang terjadi akibat mutasi hTERC, yang mengatur kerangka RNA, dan hTERT, yang mengatur reverse transcriptase catalytic, telomerase; produk gen ini bekerja sama dalam perbaikan untuk mempertahankan ukuran telomere. Pada sindrom Shwachman-Diamond, kegagalan sum-sum terlihat pada insufisiensi pankreatik dan malabsorbsi; kebanyakan pasien memiliki mutasi heterozygous compound pada SBDS, dimana berimplikasi pada proses RNA.
1.3 Patofisiologi
Kegagalan sumsum terjadi akibat kerusakan berat pada kompartemen sel hematopoetik. Pada anemia aplastik, tergantinya sum-sum tulang dengan lemak dapat terlihat pada morfologi spesimen biopsy (Gambar 1) dan MRI pada spinal. Sel yang membawa antigen CD34, marker dari sel hematopoietik dini, semakin lemah, dan pada penelitian fungsional, sel bakal dan primitive kebanyakan tidak ditemukan; pada pemeriksaan in vitro menjelaskan bahwa “kolam” sel bakal berkurang hingga < 1% dari normal pada keadaan yang berat.
Suatu kerusakan intrinsic pada sel bakal terjadi pada anemia aplastik konstitusional: sel dari pasien dengan anemia Fanconi mengalami kerusakan kromosom dan kematian pada paparan terhadap beberapa agen kimia tertentu. Telomer kebanyakan pendek pada pasien anemia aplastik, dan mutasi pada gen yang berperan dalam perbaikan telomere (TERC dan TERT ) dapat diidentifikasi pada beberapa orang dewasa dengan anomaly akibat kegagalan sum-sum dan tanpa anomaly secara fisik atau dengan riwayat keluarga dengan penyakit yang serupa. Anemia aplasia sepertinya tidak disebabkan oleh kerusakan stroma atau produksi faktor pertumbuhan.
Kerusakan ekstrinsik pada sum-sum terjadi setelah trauma radiasi dan kimiawi seperti dosis tinggi pada radiasi dan zat kimia toksik. Untuk reaksi idiosinkronasi yang paling sering pada dosis rendah obat, perubahan metabolisme obat kemungkinan telah memicu mekanisme kerusakan. Jalur metabolisme dari kebanyakan obat dan zat kimia, terutama jika bersifat polar dan memiliki keterbatasan dalam daya larut dengan air, melibatkan degradasi enzimatik hingga menjadi komponen elektrofilik yang sangat reaktif (yang disebut intermediate); komponen ini bersifat toxic karena kecenderungannya untuk berikatan dengan makromolekul seluler. Sebagai contoh, turunan hydroquinones dan quinolon berperan terhadap cedera jaringan. Pembentukan intermediat metabolit yang berlebihan atau kegagalan dalam detoksifikasi komponen ini kemungkinan akan secara genetic menentukan namun perubahan genetis ini hanya terlihat pada beberapa obat; kompleksitas dan spesifitas dari jalur ini berperan terhadap kerentanan suatu loci dan dapat memberikan penjelasan terhadap jarangnya kejadian reaksi idiosinkronasi obat.
Gb. Bagan anemia aplastik



1.4 Manifestasi Klinis
Anemia aplastik dapat muncul dengan mendadak atau memiliki onset yang berkembang dengan cepat. Perdarahan merupakan gejala awal yang paling sering terjadi; keluhan mudah terjadi memar selama beberapa hari hingga minggu, gusi yang berdarah, mimisan, darah menstruasi yang berlebihan, dan kadang-kadang peteki. Adanya thrombositopenia, perdarahan massif jarang terjadi, namun perdarahan kecil pada sistem saraf pusat dapat berbahaya pada intracranial dan menyebabkan perdarahan retina. Gejala anemia juga sering terjadi termasuk mudah lelah, sesak napas, dan tinnitus pada telinga. Infeksi merupakan gejala awal yang jarang terjadi pada anemia aplastik (tidak seperti pada agranulositosis, dimana faringitis, infeksi anorektal, atau sepsis sering terjadi pada permulaan penyakit). Gejala yang khas dari anemia aplastik adalah keterbatasan gejala pada sistem hematologist dan pasien sering merasa dan sepertinya terlihat sehat walaupun terjadi penurunan drastis pada hitung darah. Keluhan sistemik dan penurunan berat badan sebaiknya mengarahkan penyebab pasitopenia lainnya. Adanya pemakaian obat sebelumnya, paparan zat kimia, dan penyakit infeksi virus sebelumnya mesti diketahui. Riwayat kelainan hematologis pada keluarga dapat mengindikasikan penyebab konstitusional pada kegagalan sum-sum.
1.5 Komplikasi
1.      Perdarahan
2.      Infeksi organ
3.       Gagal jantung
4.       Parestesia
5.       Kejang
1.6 Pemeriksaan Penunjang
Gambaran darah tepi menunjukkan pansitopenia dan limfositosis relatif. Dari pemeriksaan sumsum tulang didapatkan yaitu gambaran sel sangat kurang, banyak jaringan penyokong dan jaringan lemak, aplasia sistem eritropoetik, granulopoetik, dan trombopoetik. Di antara sel sumsum tulang yang sedikit, banyak ditemukan limfosit, sel sistem retikuloendotelial (sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel endotel).
Biopsi sumsum tulang : menentukan beratnya penurunan elemen sumsum normal dan penggantian oleh lemak. Abnormalitas mungkin terjadi pada sel stem, precursor granulosit, eritrosit dan trombosit. Akibatnya terjadi pansitopenia (defisiensi semua elemen sel darah). (Smeltzer.2001.Hal:939)
Gambaran darah tepi menunjukkan pansitopenia dan limfositosis relatif. (Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI.2005.Hal:452)

1.7 Penatalaksanaan
Ada 3 hal penting dalam penatalaksanaan penderita anemia aplastik
1. Pengobatan supportif yang terdiri dari :
a. Koreksi terhadap anemia, yaitu dengan diberikan tranfusi.
b. Atasi pendarahan, yaitu dengan diberikan platelet concentrate 0,1-0.2 unit/ kgBB, diulang bila perlu sampai pendarahan dapap diatasi → sering dipakai.
Prednison dapat digunakan sebagai tambahan untuk mengurangi kecenderungan pendarahan.
2. Cegah danatasi iflaksi
a.  Isolasi → dalam ruang suci hama
b. Pengobatah infeksi dengan pemberian antibiotika → jangan berikan antibiotika yang dapat mendepresi sum-sum tulang (klorampnenicol).
c. Pemberian granulosit sekitar 20 milliun setiap hari pada penderita dengan kadar granulositnya < 200/mm3.
3. Pengobatan spesifik.
a. Stimulasi dan regenerasi sum-sum tulang, yaitu dengan diberikan preparat androgen yaitu testosteron, yangdapat diberikan secara oral 1-2 mg /kg BB / hari.
b. Tranplantsi sum-sum tulang, yaitu cara yang paling baik untuk anemia aplasik.
c. Infusion of tetal liver cell, yaitu sel hati terus pada masa permulaan embrio karena banyak mengandung stem cell, dengan derajat kemampuan imun yang rendah, sehingga baik digunakan sebagai transplantasi sum-sum 2 x / g.
d. Antithymocire Globulin, yaitu sel-sel pluripotent yang tidak berfungsi sdisebabkan karena disekitarnya terdapat banyak T limposit yang menekan kemampuannya berdiferensiasi.
1.8 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik ini meliputi :
1.      Pemeriksaan Laboratorium
a)      Darah
Menunjukkan eritrosit yang besar dan kurangnya platelet dan granulosit. Mean corpuscular volume (MCV) biasanya meningkat. Retikulosit tidak ditemukan atau kurang dan jumlah limfosit dapat normal atau sedikit menurun. Keberadaan myeloid immature menandakan leukemia atau MDS, sel darah merah yang bernukleus menandakan adanya fibrosis sum-sum atau invasi tumor, platelet abnormal menunjukkan adanya kerusakan perifer atau MDS.


b)      SumSum Tulang
Sum-sum tulang biasanya mudah diaspirasi namun menjadi encer jika diapuskan dan biopsi specimen lemak terlihat pucat pada pengambilan. Pada aplasia berat, apusan dari specimen aspirat hanya menunjukkan sel darah merah, limfosit residual, dan sel strome biopsy (dimana sebaiknya berukuran >1 cm) sangat baik untuk menentukan selularitas dan kebanyakan menunjukkan lemak jika dilihat dibawah mikroskop, dengan sel hematopoetik menempati <25% style
Sum-sum yang kosong, sedangkan hematopoiesis dapat pula terlihat pada kasus yang berat. Jika specimen pungsi krista iliaka tidak adekuat, sel dapat pula diaspirasi di sternum. Sel hematopoietik residual seharusnya mempunyai morfologi yang normal, kecuali untuk eritropoiesis megaloblastik ringan; megakariosit selalu sangat berkurang dan biasanya tidak ditemukan. Sebaiknya myeloblast dicari pada area sekitar spikula. Granuloma (pada specimen seluler) dapat mengindikasikan etiologi infeksi dari kegagalan sum-sum
c). Laju Endap darah
Laju endap darah selalu meningkat. Penulis menemukan bahwa 62 dari 70 kasus (89 %) mempunyai laju endap darah lebih dari 100 mm dalam jam pertama.
d). Faal Hemostatik
Waktu pendarahan memenjang dan retraksi bekuan jelek disebutkan oleh trombositopenia.Faal hemoststik lainnya normal.







BAB II
Asuhan Keperawatan
Anemia Aplastik
A.    Pengkajian
1.      Aktivitas atau Istirahat
a.        Keletihan, kelemahan otot, malaise umum
b.      Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak
c.       Takikardia, takipnea ; dipsnea pada saat beraktivitas atau istirahat
d.      Letargi, menarik diri, apatis, lesu dan kurang tertarik pada sekitarnya
e.        Ataksia, tubuh tidak tegak
f.       Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat dan tanda – tanda lain yang menunjukkan keletihan
2.       Sirkulasi
a.       Riwayat kehilangan darah kronis, mis : perdarahan GI
b.      Palpitasi (takikardia kompensasi)
c.       Hipotensi postural
d.      Disritmia : abnormalitas EKG mis : depresi segmen ST dan pendataran atau depresi gelombang T
e.       Bunyi jantung murmur sistolik
f.       Ekstremitas : pucat pada kulit dan membrane mukosa (konjungtiva, mulut, faring, bibir) dan dasar kuku
g.      Sclera biru atau putih seperti mutiara
h.      Pengisian kapiler melambat (penurunan aliran darah ke perifer dan vasokonsriksi kompensasi)
i.        Kuku mudah patah, berbentuk seperti sendok (koilonikia)
j.        Rambut kering, mudah putus, menipis
3.      Integritas Ego
a.       Keyakinan agama atau budaya mempengaruhi pilihan pengobatan mis transfusi darah
b.      Depresi
4.      Eliminasi
a.       Riwayat pielonefritis, gagal ginjal
b.      Flatulen, sindrom malabsorpsi
c.       Hematemesis, feses dengan darah segar, melena
d.      Diare atau konstipasi
e.       Penurunan haluaran urine
f.       Distensi abdomen
5.      Makanan atau cairan
a.       Penurunan masukan diet
b.       Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan (ulkus pada faring)
c.       Mual/muntah, dyspepsia, anoreksia
d.      Adanya penurunan berat badan
e.       Membrane mukusa kering,pucat
f.       Turgor kulit buruk, kering, tidak elastis
g.      Stomatitis
h.      Inflamasi bibir dengan sudut mulut pecah
6.       Neurosensori
a.       Sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus, ketidakmampuan berkonsentrasi
b.      Insomnia, penurunan penglihatan dan bayangan pada mata
c.       Kelemahan, keseimbangan buruk, parestesia tangan / kaki
d.      Peka rangsang, gelisah, depresi, apatis
e.       Tidak mampu berespon lambat dan dangkal
f.       Hemoragis retina
g.      Epistaksis
h.      Gangguan koordinasi, ataksia
7.       Nyeri atau kenyamanan
a.       Nyeri abdomen samar, sakit kepala
8.      Pernapasan
a.       Napas pendek pada istirahat dan aktivitas
b.      Takipnea, ortopnea dan dispnea

9.       Keamanan
a.       Riwayat terpajan terhadap bahan kimia mis : benzene, insektisida, fenilbutazon, naftalen
b.      Tidak toleran terhadap dingin dan / atau panas
c.       Transfusi darah sebelumnya
d.       Gangguan penglihatan
e.       Penyembuhan luka buruk, sering infeksi
f.       Demam rendah, menggigil, berkeringat malam
g.       Limfadenopati umum
h.      Petekie dan ekimosis
B.     Diagnosa Keperawatan
1.       Perubahan perusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen / nutrisi ke sel.
2.       Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan / absorpsi nutrisi yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah (SDM) normal.
3.      Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.
C.      Intervensi Keperawatan
1.      Dx 1 : Perubahan perusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen / nutrisi ke sel.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam anak menunjukkan perfusi yang adekuat
Kriteria Hasil :
a)      Tanda-tanda vital stabil
b)      Membran mukosa berwarna merah muda
c)       Pengisian kapiler
d)     Haluaran urine adekuat
Intervensi :
a.        Ukur tanda-tanda vital, observasi pengisian kapiler, warna kulit/membrane mukosa, dasar kuku.
Rasional : memberikan informasi tentang keadekuatan perfusi jaringan dan membantu kebutuhan intervensi.

b.       Auskultasi bunyi napas.
Rasional : dispnea, gemericik menunjukkan CHF karena regangan jantung lama/peningkatan kopensasi curah jantung.
c.       Observasi keluhan nyeri dada, palpitasi.
Rasional : iskemia seluler mempengaruhi jaringan miokardial/potensial resiko infark.
d.      Evaluasi respon verbal melambat, agitasi, gangguan memori, bingung.
Rasional : dapat mengindikasikan gangguan perfusi serebral karena hipoksia
e.       Evaluasi keluhan dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh supaya tetap hangat.
Rasional : vasokonstriksi (ke organ vital) menurunkan sirkulasi perifer.
Kolaborasi diantaranya,:
a.       Observasi hasil pemeriksaan laboratorium darah lengkap
Rasional : mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan atau respons terhadap terapi.
b.      Berikan transfusi darah lengkap/packed sesuai indikasi
Rasional : meningkatkan jumlah sel pembawa oksigen, memperbaiki defisiensi untuk mengurangi resiko perdarahan.


2.      Dx.2 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan / absorpsi nutrisi yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah (SDM) normal
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam anak mampu mempertahankan berat badan yang stabil
Kriteria hasil :
a)      Asupan nutrisi adekuat
b)      Berat badan normal
c)      Nilai laboratorium dalam batas normal :
1.      Albumin : 4 – 5,8 g/dL
2.      Hb : 11 – 16 g/dL
3.      Ht : 31 – 43 %
4.      Trombosit : 150.000 – 400.000 µL
5.      Eritrosit : 3,8 – 5,5 x 1012
Intervensi :
a.       Observasi dan catat masukan makanan anak.
R/ :  mengawasi masukan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi makanan.
b.      Berikan makanan sedikit dan frekuensi sering
R/ :  makan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan asupan nutrisi.
c.       Observasi mual  atau muntah, flatus.
R/ : gajala GI menunjukkan efek anemia (hipoksia) pada organ.
d.      Bantu anak melakukan oral higiene, gunakan sikat gigi yang halus dan lakukan penyikatan yang lembut.
R/ : meningkatkan napsu makan dan pemasukan oral. Menurunkan pertumbuhan bakteri, meminimalkan kemungkinan infeksi. Teknik perawatan mulut diperlukan bila jaringan rapuh atau luak atau perdarahan.
e.       Observasi pemeriksaan laboratorium : Hb, Ht, Eritrosit, Trombosit, Albumin.
R/ : mengetahui efektivitas program pengobatan, mengetahui sumber diet nutrisi yang dibutuhkan.
f.       Berikan diet halus rendah serat, hindari makanan pedas atau terlalu asam sesuai indikasi.
R/ : bila ada lesi oral, nyeri membatasi tipe makanan yang dapat ditoleransi anak.
g.      Berikan suplemen nutrisi mis : ensure, Isocal.
R/ : meningkatkan masukan protein dan kalori
3.       Dx. 3 : Konstipasi atau diare berhubungan dengan penurunan masukan diet; perubahan proses pencernaan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam anak menunjukan perubahan pola defekasi yang normal.
Kriteria hasil :
a)      Frekuensi defekasi 1x setiap hari
b)      Konsistensi feces lembek, tidak ada lender / darah
c)      Bising usus dalam batas normal
Intervensi :
a.       Observasi warna feces, konsistensi, frekuensi dan jumlah.
R/ : membantu mengidentifikasi penyebab / factor pemberat dan intervensi yang tepat.
b.      Auskultasi bunyi usus.
R/ : bunyi usus secara umum meningkat pada diare dan menurun pada konstipasi.
c.       Hindari makanan yang menghasilkan gas.
R: /menurunkan distensi abdomen.


d.      Berikan diet tinggi serat
R/ : serat menahan enzim pencernaan dan mengabsorpsi air dalam alirannya sepanjang traktus intestinal.
e.       Berikan pelembek feces, stimulant ringan, laksatif sesuai indikasi.
R/ : mempermudah defekasi bila konstipasi terjadi.
f.       Berikan obat antidiare mis : difenoxilat hidroklorida dengan atropine (lomotil) dan obat pengabsorpsi air mis Metamucil.
R/ : menurunkan motilitas usus bila diare terjadi.
4.      Dx.4 : Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam anak melaporkan peningkatan toleransi aktivitas.
Kriteria hasil :
a)      Tanda – tanda vital dalam batas normal
b)      Anak bermain dan istirahat dengan tenang
c)      Anak melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuan
d)     Anak tidak menunjukkan tanda – tanda keletihan
Intervensi :
a.       Ukur tanda – tanda vital setiap 8 jam
R/ : manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat ke jaringan.
b.      Observasi adanya tanda – tanda keletihan ( takikardia, palpitasi, dispnea, pusing, kunang – kunang, lemas, postur loyo, gerakan lambat dan tegang.
R/ : membantu menetukan intervensi yang tepat.
c.       Bantu anak dalam aktivitas diluar batas toleransi anak.
R/ : mencegah kelelahan.
d.      Berikan aktivitas bermain pengalihan sesuai toleransi anak.
R/ : meningkatkan istirahat, mencegah kebosanan dan menarik diri.
5.      Dx.5 : Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh sekunder leucopenia, penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan).
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam infek tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
a)      Tanda – tanda vital dalam batas normal
b)      Leukosit dalam batas normal
c)      Keluarga menunjukkan perilaku pencegahan infeksi pada anak
Intervensi
a.        Ukur tanda – tanda vital setiap 8 jam.
R/ : demam mengindikasikan terjadinya infeksi.
b.      Tempatkan anak di ruang isolasi bila memungkinkan dan beri tahu keluarga supaya menggunakan masker saat berkunjung.
R/ : mengurangi resiko penularan mikroorganisme kepada anak.
c.       Pertahankan teknik aseptik pada setiap prosedur perawatan.
R/ : mencegah infeksi nosokomial.
d.      Observasi hasil pemeriksaan leukosit.
R/: lekositosis mengidentifikasikan terjadinya infeksi dan leukositopenia mengidentifikasikan penurunan daya tahan tubuh dan beresiko untuk terjadi infeksi
D.    Evaluasi Keperawatan
a)      Mempertahankan perfusi jaringan adekuat
b)      Mempertahankan asupan nutrisi adekuat dan berat badan stabil
c)      Menunjukkan pola defekasi normal
d)     Mengalami peningkatan toleransi aktivitas
e)      Infeksi tidak terjadi










DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall.2009. Diagnosis Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinis Edisi 9. Jakarta : EGC
Doengoes, Mariliynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC
Hillman RS, Ault KA. Iron Deficiency Anemia. Hematology in Clinical Practice. A Guide to Diagnosis and Management. New York; McGraw Hill, 1995 : 72-85.
Lanzkowsky P. Iron Deficiency Anemia. Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke-2. New York; Churchill Livingstone Inc, 1995 : 35-50.
Nathan DG, Oski FA. Iron Deficiency Anemia. Hematology of Infancy and Childhood. Edisi ke-1. Philadelphia; Saunders, 1974 : 103-25.
Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC
http://poetriezhuzter.blogspot.com/2008/11/asuhan-keperawatan-anemia.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar