BAB
I
TINJAUAN
TEORI
1.1.
Definisi
Anemia
aplastik merupakan suatu pansitopenia pada hiposelularitas sum-sum tulang.
Anemia aplastik didapat (Acquired qplastic anemia) berbeda dengan iatrogenic
marrow aplasia, hiposelularitas sum-sum setelah chemotherapy sitotoksik
intensif. Anemia aplastik dapat pula diturunkan : anemia Fancani genetic dan
dyskeratosis congenital, dan sering berkaitan dengan anomaly fisik khas dan
perkembangan pansitopenia terjadi pada umur yang lebih muda, dapat pula berupa
kegagalan sum-sum pada orang dewasa yang terlihat normal. Anemia aplastik
didapat seringkali bermanifestasi yang khas, dengan onset hitung darah yang
rendah secara mendadak pada dewasa muda yang terlihat normal; hepatitis
seronegatif atau pemberian obat yang salah dapat pula mendahului onset ini.
Diagnosis pada keadaan seperti ini tidak sulit. Biasanya penurunan hitung darah
moderat atau tidak lengkap, akan menyebabkan anemia, leucopenia, dan
thrombositopenia atau dalam beberapa kombinasi tertentu.
Definisi lain
dari Anemia aplastik adalah suatu gangguan pada sel-sel induk disumsum tulang
yang dapat menimbulkan kematian, pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang
dihasilkan tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia yaitu
kekurangan sel darah merah, sel darah
putih dan trombosit. Secara morfologis sel-sel darah merah terlihat normositik dan normokrom, hitung retikulosit
rendah atau hilang dan biopsi sumsum tulang menunjukkan suatu keadaan yang
disebut “pungsi kering” dengan hipoplasia yang nyata dan terjadi pergantian
dengan jaringan lemak. Langkah-langkah pengobatan terdiri dari mengidentifikasi
dan menghilangkan agen penyebab. Namun pada beberapa keadaan tidak dapat
ditemukan agen penyebabnya dan keadaan ini disebut idiopatik. Beberapa keadaan
seperti ini diduga merupakan keadaan imunologis.
1.2 Etiologi
Anemia
aplasik bisa berupa kelainan kongenital (genetik) bisa berupa kelainan yang di
dapat. Sebagai kelainan kongenital anemia aplastik dibedakan menjadi dua
kelompok :
1. Aplasia yang hanya mengenai salah satu dari sel. Misalnya :
a. Anemia hipoplastik kongenital (erithroblastopenia)→ seri eritropoetik
b. Agranulositosis, genetik infanital (agranulositosis) → seri granulopoetik
c. Amegakaryolite trombositopeni purpura → seri trombopoetik.
2. Aplasia yang mengenai seluruh seri hematopoetik dan biasanya disertai dengan kelainan kongenital. Misalnya :
a. Sindrom kongenital
b. Diskeratosis bawaan.
c. Anemia aplastik konstitusional tampa kelainan kulit atau tulang.
Sedangkan anemia aplasik yang di dapat adalah yang berasal dari:
1. Aplasia yang hanya mengenai salah satu dari sel. Misalnya :
a. Anemia hipoplastik kongenital (erithroblastopenia)→ seri eritropoetik
b. Agranulositosis, genetik infanital (agranulositosis) → seri granulopoetik
c. Amegakaryolite trombositopeni purpura → seri trombopoetik.
2. Aplasia yang mengenai seluruh seri hematopoetik dan biasanya disertai dengan kelainan kongenital. Misalnya :
a. Sindrom kongenital
b. Diskeratosis bawaan.
c. Anemia aplastik konstitusional tampa kelainan kulit atau tulang.
Sedangkan anemia aplasik yang di dapat adalah yang berasal dari:
Aplasia sumsum merupakan sekuele akut utama dari radiasi. Radiasi merusak
DNA; jaringan bergantung pada mitosis aktif yang biasanya terganggu. Kecelakaan
nuklir tidak hanya melibatkan pekerja namun juga pegawai rumah sakit,
laboratorium, dan industri (sterilisasi makanan, radiography metal,dll),
begitupula dengan orang lain yang terpapar secara tidak sengaja. Sementara
dosis radiasi dapat diperkirakan melalui angka dan derajat penurunan hitung
darah, dosimetri dengan rekonstruksi paparan dapat membantu memperkirakan
prognosis pasien dan dapat pula melindungi tenaga medis dari kontak dengan
jaringan radioaktif dan secret. MDS dan leukemia, namun kemungkinan bukan
anemia aplastik, merupakan efek lambat dari radiasi.
Benzena merupakan penyebab yang diketahui dari kegagalan sumsum tulang.
Banyak data laboratorium, klinis, dan epidemiologi yang menghubungkan antara
paparan benzene dengan anemia aplastik, leukemia akut, dan abnormalitas darah
dan sum-sum tulang. Kejadian leukemia kurang berkaitan dengan paparan kumulatif
-namun kecurigaan tetap diperlukan- karena hanya sebagian kecil dari pekerja
yang terpapar terkena benzene myelotoksisitas. Rwayat pekerjaan penting
diketahui, terutama pada insdustri dimana benzene digunakan biasanya sebagai
pelarut. Penyakit darah terkait benzene telah menurun insidennya karena adanya
peraturan mengenai paparan industrial. Walaupun benzene tidak lagi digunakan
sebagai pelarut pada pemakaian rumah tangga , paparan terhadap metabolitnya
dapat terjadi pada makanan dan lingkungan sekitar. Keterkaitan antara kegagalan
sum-sum dengan zat kimia lain kurang bermakna.
3.
Obat-obatan
Banyak obat kemoterapi yang mengsupresi sumsum
sebagai toksisitas utamanya; efeknya tergantung dengan dosis dan dapat terjadi
pada semua pengguna. Berbeda dengan hal tersebut, reaksi idiosinkronasi pada
kebanyakan obat dapat menyebabkan anemia aplastik tanpa hubungan dengan dosis.
Hubungan ini berdasarkan dari laporan kasus dan suatu penelitian internasional
berskala besar di Eropa pada tahun 1980 secara kuantitatif menilai pengaruh
obat, terutama analgesic nonsteroid, sulfonamide, obat thyrostatik, beberapa
psikotropika, penisilamin, allopurinol, dan garam emas. Tidak semua hubungan
selalu menyebabkan hubungan kausatif: obat tertentu dapat digunakan untuk
mengatasi gejala pertama dari kegagalan sum-sum (antibiotic untuk demam atau
gejala infeksi virus) atau memprovokasi gejala pertama dari penyakit sebelumnya
(petechiae akibat NSAID yang diberikan pada pasien thrombositopenia). Pada
konteks penggunaan obat secara total, reaksi idiosinkronasi jarang terjadi
walaupun pada beberapa orang terjadi dengan sangat buruk. Chloramphenicol,
merupakan penyebab utama, namun dilaporkan hanya menyebabkan anemia aplasia
pada sekitar 1/60.000 pengobatan dan kemungkinan angka kejadiannya sebenarnya
lebih sedikit dari itu (resiko selalu lebih besar ketika berdasar kepada
kumpulan kasus kejadiannya; walaupun pengenalan chloramphenicol dicurigai
menyebabkan epidemic anemia aplasia, penghentian pemakaiannya tidak diikuti
dengan peningkatan frekuensi kegagalan sum-sum tulang). Perkiraan resiko
biasanya lebih rendah ketika penelitian berdasarkan populasi.
4.
Infeksi
Hepatitis merupakan infeksi yang paling sering
terjadi sebelum terjadinya anemia aplasia, dan kegagalan sum-sum paska
hepatitis terhitung 5% dari etiologi pada kebanyakan kejadian. Pasien biasanya
pria muda yang sembuh dari serangan peradangan hati 1 hingga 2 bulan
sebelumnya; pansitopenia biasanya sangat berat. Hepatitis biasanya seronegatif
(non-A, non-B, non-C, non-G) dan kemungkinan disebabkan oleh virus baru yang
tidak terdeteksi. Kegagalan hepar fulminan pada anak biasanya terjadi setelah
hepatitis seronegatif dan kegagalan sum-sum terjadi pada lebih sering pada
pasien ini. Anemia aplastik terkadang terjadi setelah infeksi mononucleosis,
dan virus Eipsten-Barr telah ditemukan pada sum-sum pada sebagian pasien,
beberapanya tanpa disertai riwayat penyakit sebelumnya. Parvovirus B19,
penyebab krisis aplastik transient pada anemia hemolitik dan beberapa PRCA (Pure
Red Cell Anemia), tidak biasanya menyebabkan kegagalan sum-sum tulang yang
luas. Penurunan hitung darah yang ringan sering terjadi pada perjalanan
penyakit beberapa infeksi bakteri dan virus namun sembuh kembali setelah
infeksi berakhir.
5.
Penyakit Immunologis
Aplasia merupakan konsekuensi utama dan penyebab
kematian yang tak terhindarkan pada keadaan transfusion-associated
graft-versus-host disease (GVDH), yang dapat terjadi setelah infuse produk
darah kepada pasien immunodefisiensi. Anemia aplastik sangat terkait dengan
sindroma kolagen vaskuler yang jarang terjadi yang disebut fasciitis
eosinophilic, yang ditandai dengan adanya indurasi yang sakit pada jaringan
subcutaneous. Pansitopenia dengan hipoplasia sum-sum dapat pula terjadi pada
systemic lupus erythematosus.
6.
Paroxysmal
Nocturnal Hemoglobinuria
Mutasi pada gen PIG-A di dalam sel bakal
hematopoietic menyebabkan terjadinya PNH, namun mutasi PIG-A kemungkinan
pula terjadi pada individu normal. Jika sel bakal dengan mutasi PIG-A
berproliferasi, hasilnya adalah defisiensi protein membrane sel terkait
glycosylphosphatidylinositol. Sel PNH seperti ini biasanya dapat terlihat
dengan flow sitometri dengan ekspresi CD55 atau CD 59 pada granulosit daripada
pemeriksaan Ham atau sucrose lysis pada sel darah merah. Beberapa klon yang
terganggun dapat terdeteksi pada separuh pasien dengan anemia aplastik pada
waktu pemeriksaan (dan sel PNH juga dapat terlihat pada MDS); hemolysis yang
jelas dan episode thrombotik terjadi pada pasien dengan klon PH yang besar (>50%).
Penelitian fungsional terhadap sum-sum tulang pada pasien PNH, walaupun pada
orang yang utamanya bermanifestasi hemolytic, memperlihatkan bukti adanya
hematopoiesis yang rusak. Pasien yang pada awalnya memiliki diagnosis klinis
PNH, terutama pada individu yang berumur lebih muda, kemungkinan pada suatu
saat akan mengalami aplasia sum-sum tulang dan pansitopenia; pasien yang pada
awalnya didiagnosis anemia aplastik kemungkinan mengalami PNH hemolytic
beberapa tahun setelah normalnya hitung darah. Satu penjelasan anemia aplastik
yang populer namun tidak terbukti adalah terpilihnya suatu klon yang terganggu
adalah karena sel tersebut mendukung terjadinya proliferasi pada lingkungan
yang tidak biasanya karena adanya destruksi sum-sum akibat autoimun.
7.
Gangguan
Konstitusi
Anemia Fanconi, suatu gangguan resesif autosomal,
bermanifestasi sebagai perkembangan anomaly congenital, pansitopenia progresif,
dan peningkatan resiko keganasan. Kromosom pada anemia fanconi, anehnya,
beresiko terhadap agen DNA cross-link, dasar dari pemeriksaan diagnostic.
Pasien dengan anemia Fanconi biasanya memiliki postur yang pendek, café au lait
spots, dan anomaly yang melibatkan jari, radius, dan traktus genitourinaria.
Paling tidak sekitar 12 defek genetic berbeda yang telah didapatkan; dan yang
paling sering, Anemia Fanconi tipe A, diakibatkan oleh mutasi pada FANCA.
Kebanyakan produk gen pada pasien anemia Fanconi membentuk kompleks protein
yang mengaktivasi FANCD2 untuk berperan dalam respon seluler pada kerusakan DNA
dan menyebabkan cross-linking yang melibatkan BRCA1, ATM, da NBSI.
Dyskeratosis congenita ditandai dengan leukoplasia membrane mucous,
dystrophi pada kuku, hiperpigmentasi retikuler, dan perkembangan anemia
aplastik pada masa kanak-kanak. Keragaman X-link disebabkan adanya mutasi pada
gen DKCI (dyskerin); tipe autosomal dominant yang lebih jarang terjadi
akibat mutasi hTERC, yang mengatur kerangka RNA, dan hTERT, yang
mengatur reverse transcriptase catalytic, telomerase; produk gen ini bekerja
sama dalam perbaikan untuk mempertahankan ukuran telomere. Pada sindrom
Shwachman-Diamond, kegagalan sum-sum terlihat pada insufisiensi pankreatik dan
malabsorbsi; kebanyakan pasien memiliki mutasi heterozygous compound pada SBDS,
dimana berimplikasi pada proses RNA.
Kegagalan sumsum terjadi akibat kerusakan berat pada kompartemen sel
hematopoetik. Pada anemia aplastik, tergantinya sum-sum tulang dengan lemak
dapat terlihat pada morfologi spesimen biopsy (Gambar 1) dan MRI pada spinal.
Sel yang membawa antigen CD34, marker dari sel hematopoietik dini, semakin
lemah, dan pada penelitian fungsional, sel bakal dan primitive kebanyakan tidak
ditemukan; pada pemeriksaan in vitro menjelaskan bahwa “kolam” sel bakal
berkurang hingga < 1% dari normal pada keadaan yang berat.
Suatu kerusakan intrinsic pada sel bakal terjadi pada anemia aplastik
konstitusional: sel dari pasien dengan anemia Fanconi mengalami kerusakan
kromosom dan kematian pada paparan terhadap beberapa agen kimia tertentu.
Telomer kebanyakan pendek pada pasien anemia aplastik, dan mutasi pada gen yang
berperan dalam perbaikan telomere (TERC dan TERT ) dapat
diidentifikasi pada beberapa orang dewasa dengan anomaly akibat kegagalan
sum-sum dan tanpa anomaly secara fisik atau dengan riwayat keluarga dengan penyakit
yang serupa. Anemia aplasia sepertinya tidak disebabkan
oleh kerusakan stroma atau produksi faktor pertumbuhan.
Kerusakan ekstrinsik pada sum-sum terjadi setelah trauma radiasi dan
kimiawi seperti dosis tinggi pada radiasi dan zat kimia toksik. Untuk reaksi
idiosinkronasi yang paling sering pada dosis rendah obat, perubahan metabolisme
obat kemungkinan telah memicu mekanisme kerusakan. Jalur metabolisme dari
kebanyakan obat dan zat kimia, terutama jika bersifat polar dan memiliki
keterbatasan dalam daya larut dengan air, melibatkan degradasi enzimatik hingga
menjadi komponen elektrofilik yang sangat reaktif (yang disebut intermediate);
komponen ini bersifat toxic karena kecenderungannya untuk berikatan dengan
makromolekul seluler. Sebagai contoh, turunan hydroquinones dan quinolon
berperan terhadap cedera jaringan. Pembentukan intermediat metabolit yang
berlebihan atau kegagalan dalam detoksifikasi komponen ini kemungkinan akan
secara genetic menentukan namun perubahan genetis ini hanya terlihat pada beberapa
obat; kompleksitas dan spesifitas dari jalur ini berperan terhadap kerentanan
suatu loci dan dapat memberikan penjelasan terhadap jarangnya kejadian reaksi
idiosinkronasi obat.
Gb. Bagan
anemia aplastik
Anemia aplastik dapat muncul dengan mendadak atau
memiliki onset yang berkembang dengan cepat. Perdarahan merupakan gejala awal
yang paling sering terjadi; keluhan mudah terjadi memar selama beberapa hari
hingga minggu, gusi yang berdarah, mimisan, darah menstruasi yang berlebihan,
dan kadang-kadang peteki. Adanya thrombositopenia, perdarahan massif jarang
terjadi, namun perdarahan kecil pada sistem saraf pusat dapat berbahaya pada
intracranial dan menyebabkan perdarahan retina. Gejala anemia juga sering terjadi
termasuk mudah lelah, sesak napas, dan tinnitus pada telinga. Infeksi merupakan
gejala awal yang jarang terjadi pada anemia aplastik (tidak seperti pada
agranulositosis, dimana faringitis, infeksi anorektal, atau sepsis sering
terjadi pada permulaan penyakit). Gejala yang khas dari anemia aplastik adalah
keterbatasan gejala pada sistem hematologist dan pasien sering merasa dan
sepertinya terlihat sehat walaupun terjadi penurunan drastis pada hitung darah.
Keluhan sistemik dan penurunan berat
badan sebaiknya mengarahkan penyebab pasitopenia lainnya. Adanya pemakaian obat
sebelumnya, paparan zat kimia, dan penyakit infeksi virus sebelumnya mesti
diketahui. Riwayat kelainan hematologis pada keluarga dapat mengindikasikan
penyebab konstitusional pada kegagalan sum-sum.
1.5 Komplikasi
1.
Perdarahan
2.
Infeksi organ
3.
Gagal jantung
4.
Parestesia
5.
Kejang
1.6 Pemeriksaan
Penunjang
Gambaran
darah tepi menunjukkan pansitopenia dan limfositosis relatif. Dari pemeriksaan
sumsum tulang didapatkan yaitu gambaran sel sangat kurang, banyak jaringan
penyokong dan jaringan lemak, aplasia sistem eritropoetik, granulopoetik, dan
trombopoetik. Di antara sel sumsum tulang yang sedikit, banyak ditemukan
limfosit, sel sistem retikuloendotelial (sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel
endotel).
Biopsi
sumsum tulang : menentukan beratnya penurunan elemen sumsum normal dan
penggantian oleh lemak. Abnormalitas mungkin terjadi pada sel stem, precursor
granulosit, eritrosit dan trombosit. Akibatnya terjadi pansitopenia (defisiensi
semua elemen sel darah). (Smeltzer.2001.Hal:939)
Gambaran darah tepi menunjukkan
pansitopenia dan limfositosis relatif. (Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak
FKUI.2005.Hal:452)
1.7 Penatalaksanaan
Ada
3 hal penting dalam penatalaksanaan penderita anemia aplastik
1. Pengobatan supportif yang terdiri dari :
1. Pengobatan supportif yang terdiri dari :
a.
Koreksi terhadap anemia, yaitu dengan diberikan tranfusi.
b.
Atasi pendarahan, yaitu dengan diberikan platelet concentrate 0,1-0.2 unit/
kgBB, diulang bila perlu sampai pendarahan dapap diatasi → sering dipakai.
Prednison dapat digunakan sebagai tambahan untuk mengurangi kecenderungan pendarahan.
Prednison dapat digunakan sebagai tambahan untuk mengurangi kecenderungan pendarahan.
2.
Cegah danatasi iflaksi
a. Isolasi → dalam ruang suci hama
b. Pengobatah infeksi dengan pemberian antibiotika → jangan berikan antibiotika yang dapat mendepresi sum-sum tulang (klorampnenicol).
c. Pemberian granulosit sekitar 20 milliun setiap hari pada penderita dengan kadar granulositnya < 200/mm3.
a. Isolasi → dalam ruang suci hama
b. Pengobatah infeksi dengan pemberian antibiotika → jangan berikan antibiotika yang dapat mendepresi sum-sum tulang (klorampnenicol).
c. Pemberian granulosit sekitar 20 milliun setiap hari pada penderita dengan kadar granulositnya < 200/mm3.
3.
Pengobatan spesifik.
a. Stimulasi dan regenerasi sum-sum tulang, yaitu dengan diberikan preparat androgen yaitu testosteron, yangdapat diberikan secara oral 1-2 mg /kg BB / hari.
b. Tranplantsi sum-sum tulang, yaitu cara yang paling baik untuk anemia aplasik.
c. Infusion of tetal liver cell, yaitu sel hati terus pada masa permulaan embrio karena banyak mengandung stem cell, dengan derajat kemampuan imun yang rendah, sehingga baik digunakan sebagai transplantasi sum-sum 2 x / g.
d. Antithymocire Globulin, yaitu sel-sel pluripotent yang tidak berfungsi sdisebabkan karena disekitarnya terdapat banyak T limposit yang menekan kemampuannya berdiferensiasi.
a. Stimulasi dan regenerasi sum-sum tulang, yaitu dengan diberikan preparat androgen yaitu testosteron, yangdapat diberikan secara oral 1-2 mg /kg BB / hari.
b. Tranplantsi sum-sum tulang, yaitu cara yang paling baik untuk anemia aplasik.
c. Infusion of tetal liver cell, yaitu sel hati terus pada masa permulaan embrio karena banyak mengandung stem cell, dengan derajat kemampuan imun yang rendah, sehingga baik digunakan sebagai transplantasi sum-sum 2 x / g.
d. Antithymocire Globulin, yaitu sel-sel pluripotent yang tidak berfungsi sdisebabkan karena disekitarnya terdapat banyak T limposit yang menekan kemampuannya berdiferensiasi.
1.8 Pemeriksaan
Diagnostik
Pemeriksaan
diagnostik ini meliputi :
1. Pemeriksaan
Laboratorium
a) Darah
Menunjukkan
eritrosit yang besar dan kurangnya platelet dan granulosit. Mean corpuscular
volume (MCV) biasanya meningkat. Retikulosit tidak ditemukan atau kurang dan
jumlah limfosit dapat normal atau sedikit menurun. Keberadaan myeloid immature
menandakan leukemia atau MDS, sel darah merah yang bernukleus menandakan adanya
fibrosis sum-sum atau invasi tumor, platelet abnormal menunjukkan adanya
kerusakan perifer atau MDS.
b) SumSum Tulang
Sum-sum tulang biasanya mudah
diaspirasi namun menjadi encer jika diapuskan dan biopsi specimen lemak
terlihat pucat pada pengambilan. Pada aplasia berat, apusan dari specimen
aspirat hanya menunjukkan sel darah merah, limfosit residual, dan sel strome
biopsy (dimana sebaiknya berukuran >1 cm) sangat baik untuk menentukan
selularitas dan kebanyakan menunjukkan lemak jika dilihat dibawah mikroskop,
dengan sel hematopoetik menempati <25% style
Sum-sum yang kosong, sedangkan
hematopoiesis dapat pula terlihat pada kasus yang berat. Jika specimen pungsi
krista iliaka tidak adekuat, sel dapat pula diaspirasi di sternum. Sel
hematopoietik residual seharusnya mempunyai morfologi yang normal, kecuali
untuk eritropoiesis megaloblastik ringan; megakariosit selalu sangat berkurang
dan biasanya tidak ditemukan. Sebaiknya myeloblast dicari pada area sekitar
spikula. Granuloma (pada specimen seluler) dapat mengindikasikan etiologi
infeksi dari kegagalan sum-sum
c). Laju Endap darah
Laju endap darah selalu meningkat.
Penulis menemukan bahwa 62 dari 70 kasus (89 %) mempunyai laju endap darah
lebih dari 100 mm dalam jam pertama.
d). Faal Hemostatik
Waktu pendarahan memenjang dan
retraksi bekuan jelek disebutkan oleh trombositopenia.Faal hemoststik lainnya
normal.
BAB II
Asuhan Keperawatan
Anemia Aplastik
A. Pengkajian
1.
Aktivitas atau Istirahat
a.
Keletihan, kelemahan otot, malaise umum
b.
Kebutuhan untuk
tidur dan istirahat lebih banyak
c.
Takikardia,
takipnea ; dipsnea pada saat beraktivitas atau istirahat
d.
Letargi, menarik
diri, apatis, lesu dan kurang tertarik pada sekitarnya
e.
Ataksia, tubuh tidak tegak
f.
Bahu menurun,
postur lunglai, berjalan lambat dan tanda – tanda lain yang menunjukkan
keletihan
2.
Sirkulasi
a.
Riwayat
kehilangan darah kronis, mis : perdarahan GI
b.
Palpitasi
(takikardia kompensasi)
c.
Hipotensi
postural
d.
Disritmia :
abnormalitas EKG mis : depresi segmen ST dan pendataran atau depresi gelombang
T
e.
Bunyi jantung
murmur sistolik
f.
Ekstremitas :
pucat pada kulit dan membrane mukosa (konjungtiva, mulut, faring, bibir) dan
dasar kuku
g.
Sclera biru atau
putih seperti mutiara
h.
Pengisian
kapiler melambat (penurunan aliran darah ke perifer dan vasokonsriksi
kompensasi)
i.
Kuku mudah
patah, berbentuk seperti sendok (koilonikia)
j.
Rambut kering,
mudah putus, menipis
3.
Integritas Ego
a.
Keyakinan agama
atau budaya mempengaruhi pilihan pengobatan mis transfusi darah
b.
Depresi
4.
Eliminasi
a.
Riwayat
pielonefritis, gagal ginjal
b.
Flatulen,
sindrom malabsorpsi
c.
Hematemesis,
feses dengan darah segar, melena
d.
Diare atau
konstipasi
e.
Penurunan
haluaran urine
f.
Distensi abdomen
5.
Makanan atau
cairan
a.
Penurunan
masukan diet
b.
Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan
(ulkus pada faring)
c.
Mual/muntah,
dyspepsia, anoreksia
d.
Adanya penurunan
berat badan
e.
Membrane mukusa
kering,pucat
f.
Turgor kulit
buruk, kering, tidak elastis
g.
Stomatitis
h.
Inflamasi bibir
dengan sudut mulut pecah
6.
Neurosensori
a.
Sakit kepala,
berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus, ketidakmampuan berkonsentrasi
b.
Insomnia,
penurunan penglihatan dan bayangan pada mata
c.
Kelemahan,
keseimbangan buruk, parestesia tangan / kaki
d.
Peka rangsang,
gelisah, depresi, apatis
e.
Tidak mampu berespon
lambat dan dangkal
f.
Hemoragis retina
g.
Epistaksis
h.
Gangguan
koordinasi, ataksia
7.
Nyeri atau kenyamanan
a.
Nyeri abdomen
samar, sakit kepala
8.
Pernapasan
a.
Napas pendek
pada istirahat dan aktivitas
b.
Takipnea,
ortopnea dan dispnea
9.
Keamanan
a.
Riwayat terpajan
terhadap bahan kimia mis : benzene, insektisida, fenilbutazon, naftalen
b.
Tidak toleran
terhadap dingin dan / atau panas
c.
Transfusi darah
sebelumnya
d.
Gangguan penglihatan
e.
Penyembuhan luka
buruk, sering infeksi
f.
Demam rendah,
menggigil, berkeringat malam
g.
Limfadenopati umum
h.
Petekie dan
ekimosis
B. Diagnosa Keperawatan
1.
Perubahan perusi jaringan berhubungan dengan
penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen / nutrisi
ke sel.
2.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna
makanan / absorpsi nutrisi yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah
(SDM) normal.
3.
Intoleran
aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen
(pengiriman) dan kebutuhan.
C. Intervensi
Keperawatan
1.
Dx 1 : Perubahan
perusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan
untuk pengiriman oksigen / nutrisi ke sel.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3 x 24 jam anak menunjukkan perfusi yang adekuat
Kriteria Hasil :
a)
Tanda-tanda
vital stabil
b)
Membran mukosa
berwarna merah muda
c)
Pengisian kapiler
d)
Haluaran urine
adekuat
Intervensi :
a.
Ukur tanda-tanda vital, observasi pengisian
kapiler, warna kulit/membrane mukosa, dasar kuku.
Rasional : memberikan informasi tentang keadekuatan
perfusi jaringan dan membantu kebutuhan intervensi.
b.
Auskultasi bunyi napas.
Rasional : dispnea, gemericik menunjukkan CHF karena
regangan jantung lama/peningkatan kopensasi curah jantung.
c.
Observasi
keluhan nyeri dada, palpitasi.
Rasional : iskemia seluler mempengaruhi jaringan
miokardial/potensial resiko infark.
d.
Evaluasi respon
verbal melambat, agitasi, gangguan memori, bingung.
Rasional : dapat mengindikasikan gangguan perfusi
serebral karena hipoksia
e.
Evaluasi keluhan
dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh supaya tetap hangat.
Rasional : vasokonstriksi (ke organ vital) menurunkan
sirkulasi perifer.
Kolaborasi diantaranya,:
a.
Observasi hasil
pemeriksaan laboratorium darah lengkap
Rasional : mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan
pengobatan atau respons terhadap terapi.
b.
Berikan
transfusi darah lengkap/packed sesuai indikasi
Rasional : meningkatkan jumlah sel pembawa oksigen,
memperbaiki defisiensi untuk mengurangi resiko perdarahan.
2.
Dx.2 : Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna
atau ketidak mampuan mencerna makanan / absorpsi nutrisi yang diperlukan untuk
pembentukan sel darah merah (SDM) normal
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24
jam anak mampu mempertahankan berat badan yang stabil
Kriteria hasil :
a)
Asupan nutrisi
adekuat
b)
Berat badan
normal
c)
Nilai
laboratorium dalam batas normal :
1.
Albumin : 4 –
5,8 g/dL
2.
Hb : 11 – 16
g/dL
3.
Ht : 31 – 43 %
4.
Trombosit :
150.000 – 400.000 µL
5.
Eritrosit : 3,8
– 5,5 x 1012
Intervensi :
a.
Observasi dan
catat masukan makanan anak.
R/ : mengawasi
masukan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi makanan.
b.
Berikan makanan
sedikit dan frekuensi sering
R/ : makan
sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan asupan nutrisi.
c.
Observasi
mual atau muntah, flatus.
R/ : gajala GI menunjukkan efek anemia (hipoksia) pada
organ.
d.
Bantu anak
melakukan oral higiene, gunakan sikat gigi yang halus dan lakukan penyikatan
yang lembut.
R/ : meningkatkan napsu makan dan pemasukan oral.
Menurunkan pertumbuhan bakteri, meminimalkan kemungkinan infeksi. Teknik
perawatan mulut diperlukan bila jaringan rapuh atau luak atau perdarahan.
e.
Observasi
pemeriksaan laboratorium : Hb, Ht, Eritrosit, Trombosit, Albumin.
R/ : mengetahui efektivitas program pengobatan,
mengetahui sumber diet nutrisi yang dibutuhkan.
f.
Berikan diet
halus rendah serat, hindari makanan pedas atau terlalu asam sesuai indikasi.
R/ : bila ada lesi oral, nyeri membatasi tipe makanan
yang dapat ditoleransi anak.
g.
Berikan suplemen
nutrisi mis : ensure, Isocal.
R/ : meningkatkan masukan protein dan kalori
3.
Dx. 3 : Konstipasi atau diare berhubungan
dengan penurunan masukan diet; perubahan proses pencernaan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24
jam anak menunjukan perubahan pola defekasi yang normal.
Kriteria hasil :
a)
Frekuensi
defekasi 1x setiap hari
b)
Konsistensi
feces lembek, tidak ada lender / darah
c)
Bising usus
dalam batas normal
Intervensi
:
a. Observasi warna feces, konsistensi, frekuensi dan
jumlah.
R/ : membantu mengidentifikasi penyebab / factor
pemberat dan intervensi yang tepat.
b. Auskultasi bunyi usus.
R/ : bunyi usus secara umum meningkat pada diare dan
menurun pada konstipasi.
c. Hindari makanan yang menghasilkan gas.
R: /menurunkan distensi abdomen.
d. Berikan diet tinggi serat
R/ : serat
menahan enzim pencernaan dan mengabsorpsi air dalam alirannya sepanjang traktus
intestinal.
e. Berikan pelembek feces, stimulant ringan, laksatif
sesuai indikasi.
R/ : mempermudah defekasi bila konstipasi terjadi.
f. Berikan obat antidiare mis : difenoxilat hidroklorida
dengan atropine (lomotil) dan obat pengabsorpsi air mis Metamucil.
R/ : menurunkan motilitas usus bila diare terjadi.
4. Dx.4 : Intoleran aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.
Tujuan :
setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam anak melaporkan peningkatan
toleransi aktivitas.
Kriteria hasil :
a) Tanda – tanda vital dalam batas normal
b) Anak bermain dan istirahat dengan tenang
c) Anak melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuan
d) Anak tidak menunjukkan tanda – tanda keletihan
Intervensi :
a. Ukur tanda – tanda vital setiap 8 jam
R/ : manifestasi
kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat
ke jaringan.
b. Observasi adanya tanda – tanda keletihan ( takikardia,
palpitasi, dispnea, pusing, kunang – kunang, lemas, postur loyo, gerakan lambat
dan tegang.
R/ : membantu menetukan intervensi yang tepat.
c. Bantu anak dalam aktivitas diluar batas toleransi
anak.
R/ : mencegah kelelahan.
d. Berikan aktivitas bermain pengalihan sesuai toleransi
anak.
R/ : meningkatkan istirahat, mencegah kebosanan dan menarik diri.
5. Dx.5 : Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan
daya tahan tubuh sekunder leucopenia, penurunan granulosit (respons inflamasi
tertekan).
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam infek tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
a) Tanda – tanda vital dalam batas normal
b) Leukosit dalam batas normal
c) Keluarga menunjukkan perilaku pencegahan infeksi pada
anak
Intervensi
a. Ukur tanda –
tanda vital setiap 8 jam.
R/ : demam mengindikasikan terjadinya infeksi.
b. Tempatkan anak di ruang isolasi bila memungkinkan dan
beri tahu keluarga supaya menggunakan masker saat berkunjung.
R/ : mengurangi resiko penularan mikroorganisme kepada anak.
c. Pertahankan teknik aseptik pada setiap prosedur
perawatan.
R/ : mencegah infeksi nosokomial.
d. Observasi hasil pemeriksaan leukosit.
R/: lekositosis
mengidentifikasikan terjadinya infeksi dan leukositopenia mengidentifikasikan
penurunan daya tahan tubuh dan beresiko untuk terjadi infeksi
D.
Evaluasi
Keperawatan
a) Mempertahankan perfusi jaringan adekuat
b) Mempertahankan asupan nutrisi adekuat dan berat badan
stabil
c) Menunjukkan pola defekasi normal
d) Mengalami peningkatan toleransi aktivitas
e) Infeksi tidak terjadi
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall.2009. Diagnosis Keperawatan
Aplikasi Pada Praktik Klinis Edisi 9. Jakarta : EGC
Doengoes, Mariliynn E. 1999. Rencana Asuhan
Keperawatan, Jakarta : EGC
Hillman RS, Ault KA. Iron Deficiency Anemia. Hematology in Clinical
Practice. A Guide to Diagnosis and Management. New York; McGraw Hill, 1995 :
72-85.
Lanzkowsky P. Iron Deficiency Anemia. Pediatric Hematology and Oncology.
Edisi ke-2. New York; Churchill Livingstone Inc, 1995 : 35-50.
Nathan DG, Oski FA. Iron Deficiency Anemia. Hematology of Infancy and Childhood.
Edisi ke-1. Philadelphia; Saunders, 1974 : 103-25.
Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis : Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC
http://poetriezhuzter.blogspot.com/2008/11/asuhan-keperawatan-anemia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar